TOP NEWS

Mitra Dakwah

04 September 2011

Haram Meminta Fatwa dalam Penetapan Dustur (Undang-undang Dasar) dan Qonun (Undang-undang)




Kaum muslimin saat ini diserbu dengan pemikiran-pemikiran Barat dan menyandarkan tanggungjawab pemeliharaan segala urusan mereka kepada sekelompok penguasa negara kufur kapitalis, sehingga aqliyyah dan nafsiyyah kaum muslimin amat dipengaruhi oleh pemahaman kapitalis, terutama dalam masalah pemerintahan dan ekonomi. Dalam perekonomian diterapkan atas umat Islam sistem ekonomi Kapitalis dan dalam pemerintahan diterapkan sistem pemerintahan demokrasi. Dan setelah itu terjadi perubahan dimana Islam dan hukum syara’ menjadi lenyap ditengah masyarakat hingga rusaklah pola berfikir umat dan ditambah lagi dengan permasalahan-permasalahan berikutnya yakni peracunan pemikiran oleh ulama shallatin yang membungkus pemikiran kufur dengan pemikiran Islam agar dapat diterima dengan mudah oleh kaum muslimin. Mereka mengungkapkan bahwa “Demokrasi berasal dari Islam”, karena di dalamnya terdapat mekanisme syura yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Mereka membolehkan riba dan menghalalkan bekerja sama bermusyarokah dalam pemerintahan kufur. Mereka menghalalkan apa-apa yang diharamkan Allah. Dan semoga Allah melindungi kita dari hal tersebut.
Dan diantara ide (pemikiran-pemikiran) yang bertentangan dengan Islam yang sangat cepat berkembang serta telah banyak menyesatkan sebagian kaum muslimin yakni ide (pemikiran) untuk meminta fatwa/pendapat (al-istiftaau) dalam hal menetapkan Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang. Pemikiran ini terlahir dari Aqidah Kapitalis yang memisahkan agama dari kehidupan dan menjadikan kedaulatan di tangan rakyat serta hanya rakyat saja yang menjadi sandaran seluruh penetapan hukum juga menjadi sandaran dalam menetapkan dan merubah Undang-Undang Dasar.
Kata “al-istiftaau” secara bahasa memiliki pengertian: “meminta fatwa dari seseorang yang memiliki kemampuan memberi fatwa”. Memberi fatwa berarti menjelaskan suatu permasalahan hukum. Disebut bahwa seseorang memberikan fatwa dalam suatu perkara berarti orang tersebut telah menjawab suatu perkara yang dimintakan atasnya untuk memberikan fatwa.
Pengertian tersebut berasal dari Firman Allah SWT:
“Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka” (TQS An-Nisaa: 127) dan Firman Allah:
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)” (TQS An-Nisaa: 176).
Dan para ahli ushul fiqh telah mendefiniskan istilah “fatwa”, “mufti” dan “mustafti”. Pengertian mufti adalah seorang mujtahid dalam hukum syara’ atau orang yang menyampaikan hukum-hukum syara’ tersebut. Adapun mustafti adalah muqollid (pengikut) yang bertanya tentang hukum-hukum syara’. Sedangkan definisi fatwa adalah hukum syara’ yang digali dari dalil-dalil yang terperinci.
Adapun meminta fatwa (pendapat) dalam menetapkan UUD adalah pemahaman yang jelas-jelas bertentangan dengan aqidah Islam. Adapun penjelasan pertentangannya secara keseluruhan dapat dirincikan sebagai berikut:
1. Kedaulatan ada di tangan Allah SWT
Bahwa sesungguhnya Islam telah menjadikan kedaulatan ada di tangan Allah SWT. Dan hanya As Syari’ (Allah SWT) saja yang menjadi hakim, penentu hukum terhadap segala sesuatu baik terhadap benda maupun perbuatan. Sebagaimana firman Allah SWT:
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (TQS. Al-An’aam: 57).
Dan telah ditetapkan pula bahwasanya keimanan terhadap pernyataan “Tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasululullah” yang menjadi ihtikam atau rujukan terhadap syari’at Allah SWT. Karena tidaklah bernilai keimanan seseorang jika tidak berihtikam (merujuk) kepada apa yang disyari’atkan Allah SWT.
Sebagaimana firman Allah SWT:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya” (TQS. An-Nisaa: 60).
Dan sebagaimana firman Allah:
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS. Al-Maidah: 50).
Oleh karena itu jika seseorang berhukum kepada hukum selain hukum Allah maka hal tersebut merupakan kekufuran yang nyata. Dan menjadikan rakyat sebagai sandaran hukum dan menjadikannya sebagai hakim (penentu hukum) atas UUD dan UU, maka perbuatan tersebut juga merupakan kekufuran yang jelas, karena menjadikan kedaulatan di tangan rakyat bukan di tangan syara’ walaupun materi (isi) dari UUD dan UU tersebut diambil dari kitab fiqh dan dari pendapat para mujtahid, karena dengan demikian berarti telah mengharuskan kita ber-iltizam dan mengikatkan diri dengan keinginan masyarakat bukan berdasarkan dalil syara’ yang muncul dari Aqidah Islam. Atau dengan kata lain, bahwa sesungguhnya rakyatlah yang memberikan sifat hukum atau legalisasi terhadap UUD dan UU, bukannya syari’at. Hal tersebut jelas bertentangan dengan Islam. Karena Islam mengharuskan hanya menjadikan hukum syara’ saja sebagai hakim (penentu hukum) atas UUD dan UU. Disamping itu, menyusun dan menetapkan materi-materinya UUD wajib merujuk kepada Kitabullah, Sunnah Rasulullah SAW dan apa-apa yang ditunjukkan olehnya yakni Ijma’ sahabat dan qiyas disamping menjadikan quwatuddalil (kekuatan dalil) syara’ sebagai asas dalam ber-istidlal (pengambilan dalil) dan memilih pendapat yang rajih (unggul) ketika terjadi perbedaan pendapat. Dengan demikian, menetapkan dan merubah UUD harus berdasarkan kepada quwwatud dalil (kekuatan dalil) syara’ bukan kepada kemashlahatan atau pun keinginan para penguasa atau masyarakat, sebagaimana yang diterapkan dalam sistem demokrasi.
Dan juga tidak diperbolehkan meminta pendapat (fatwa) manusia atas penerapan UUD dan UU, tidak dilihat apakah UUD tersebut merupakan UUD yang lahir dan dibangun atas aqidah Islam ataukah tidak, karena UUD dan UU yang mengacu kepada hukum syara’ tidak diperbolehkan meminta pendapat manusia dalam penerapannya atas mereka. Begitu juga (apa lagi) jika UUD dan UU tersebut bukan berasal dari Islam, maka tidak diperbolehkan meminta pendapat manusia untuk menerapkan atau tidak menerapkannya atas mereka. Karena sesungguhnya hukum-hukum kufur wajib ditolak dan dicabut baik disetujui oleh manusia ataukah tidak. Sedangkan hukum-hukum Islam wajib diterapkan dengan tanpa memandang apakah disetujui manusia ataukah tidak. Dan wajib mencabut kekufuran dan menerapkan Islam sebagaimana yang diturunkan Allah SWT bukannya malah menerapkan hukum buatan manusia, karena jelas hal tersebut dilarang oleh Islam. Bahkan wajib atas mereka dengan kesungguhan dan sesegera mungkin menerapkan hukum Islam. Dan hal tersebut harus (sudah) disampaikan kepada orang-orang yang mengatakan bahwa istiftaa (meminta pendapat) kepada manusia dalam menetapkan UUD adalah berarti menyerahkan atau meminta pertimbangan kepada mereka (manusia) untuk menjelaskan hukum syara’ dalam UUD tersebut.
Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Bahwa tidak diperbolehkan menyerahkan dan meminta pertimbangan manusia untuk menjelaskan hukum syara’ dalam UUD tersebut., karena istiftaa (meminta pendapat manusia) atau menanyakan kepada masyarakat umum tentang hukum syara’ yang dalam permasalahan hukum syara tersebut membutuhkan ijtihad dan tarjih maka tidak bisa dilakukan oleh masyarakat yang tidak memahami dalil dan metode pendalilan hukum syara’. Dan bagi yang tidak mengetahui dalil-dalil dan metode melakukan pendalilan maka cukup bagi mereka melihat isi dan penjelasan hukum syara’ tersebut di dalam UUD. Sudah sangat difahami bahwa yang menggali dan menjelaskan hukum syara’ dalam berbagai masalah adalah para ulama dan para mujtahid untuk kemudian memahamkan masyarakat dengan dalil-dalil dan metode pendalilan tersebut. Dan disamping itu juga, menjadikan rakyat sebagai hakim (penentu hukum) dalam menetapkan UUD untuk diambil (dijadikan) sebagai hukum syara’ merupakan penyesatan kepada kaum muslimin, pengkhiyanatan terhadap amanah yang diamanahkan kepadanya. Hal tersebut bisa ditinjau dari dua sisi:
q Pertama bahwa dia menyandarkan suatu perkara bukan kepada ahli-nya.
q Bahwa sesungguhnya dia telah menjerumuskan manusia dalam melakukan keharaman kepada Allah SWT atau dengan kata lain mengajak mereka untuk berma’shiyat kepada Allah akan tetapi wajib baginya mengajak manusia mentaati Allah bukan malah berma’shiyat kepada-Nya.
Jika seandainya argumentasi mereka bahwa istiftaa’ (meminta pendapat masyarakat) adalah agar hukum syara’ diketahui (oleh masyarakat), pada faktanya tidaklah demikian karena isiiftaa (meminta pendapat masyarakat) dalam sistem demokrasi adalah suatu mekanisme pengungkapan terhadap penerimaan dan penolakan masyarakat terhadap diterapakan dan tidaknya hukum syara’. Karena yang diberikan sifat syar’i (kewenangan) dalam menentukan UUD dan bagaimana kewajiban penguasa untuk menerapkan dan berpegang teguh kepada UUD tersebut adalah rakyat. Dan jelas juga bahwa dari metode istiftaa diantaranya adalah melakukan pemilu (pemilihan umum) untuk meminta pendapat “ya” ataukah “tidak” sebagai contoh lain yakni melakukan pemilu untuk menetapkan UUD tersebut ataukah tidak atau untuk mengganti UUD tersebut ataukah tidak…hal tersebut merupakan metode dalam penetapan dan mengubah UUD yang sangat jauh sekali dari (metode) syar’i yakni dari metode hukum syara’ atau metode Islam dalam menggali dan mengadopsi serta menerapkan hukum syara’.
2. Kedua: fakta UUD dalam Daulah Khilafah:
UUD Daulah Khilafah adalah penjelasan dari kumpulan hukum dan kaidah khusus atau kaidah syara’ umum yang mengatur tentang bentuk dan sistem pemerintahan, pembagian kekuasaan dan wewenang badan-badan pemerintah dan mencakup sistem pemerintahan yang diterapkan, sistem ekonomi, politik pendidikan, politik luar negeri dan sebagainya serta dalil-dalil ijmaliyah (umum/garis besar) bagi UUD dan UU juga memuat metode istidlal (pendalilan) dengan dalil-dalil yang terperinci atas hukum-hukum dan UU yang disandarkan kepada kaidah kulliyah dan aammah yang berhubungan dengan sistem dan struktur suatu negara.
Khalifah mengadopsi hukum-hukum dan kaidah-kaidah yang digunakan untuk mengurusi setiap perkara dan menjadikannya sebagai asas yang wajib dijadikan acuan bagi para wali dan penguasa ketika mereka mengurusi dan memelihara urusan manusia di setiap pelosok wilayah (tempat).
Khalifah mengadopsi hukum-hukum dan kaidah-kaidah syara’ berdasarkan kekuatan dalil dan atas dasar pendapat yang benar untuk mengatur setiap urusan. Oleh karena itu UUD haruslah memiliki muqaddimah, yakni penjelasan dalil dari tiap-tiap materi dalam UUD tersebut dan mengungkapkan istidlal (pengambilan dalil) dengan dalil-dalil tertentu tanpa menjelaskan sebab-sebab kenapa materi tersebut yang ditetapkan. Penjelasan terhadap materi UUD tersebut harus dengan pembahasan yang mendalam dan jelas sehingga memungkinkan masyarakat dapat memahami UUD dari aspek syar’inya serta membuat masyarakat mampu mengoreksi khalifah dengan kesadaran.
Khalifah mengadopsi hukum-hukum dan kaidah-kaidah karena pengurusan berbagai macam urusan pada faktanya tidaklah benar kecuali setelah diadopsi oleh khalifah. Adapun yang menjadi hukum syara’ adalah yang telah diadopsi oleh khalifah dan dipegang teguh olehnya berupa kumpulan hukum dan kaidah yang dengan hukum dan kaidah tersebut sajalah negara mengatur berbagai macam urusan. Dan Khulafaur Rasyidin telah menjadikan pengadopsian sebagai metode dalam penentuan hukum. Dan metode tersebut merupakan ijma’ shahabat ridlwanullah alaihim. Penjelasan di atas merupakan fakta penetapan UUD dan UU dalam Daulah Khilafah,
3. Ketiga, bahwa kewenangan untuk mengadopsi menetapkan dan merubah UUD.
Sesungguhnya Islam telah menggantungkan pengurusan berbagai macam masalah secara terus-menerus dan secara iltizam kepada seorang khalifah dan ditetapkan taklif (beban) tersebut atas khalifah yang telah mengadopsi hukum-hukum dengan kadar apa-apa yang dapat dilihat secara hakikat yakni riayah wal qaidah syar’iyah al masyhuriyah diantara para fuqaha menggantungkan bahwa (bagi seorang imam mengadakan ketatapan sesuai dengan kadar yang diadakan dari permasalahan-permasalahan). Dan bahwa UUD dan UU untuk mengurus berbagai macam urusan (masalah) maka hanya khalifah yang memiliki kewenangan untuk mengadopsi dan terhadap apa-apa yang menjadi pendapatnya adalah benar dan tidak untuk pendapat yang lain, karena hukum syara’ telah menetapkan bahwa mengatur berbagai macam masalah sesuai dengan apa-apa yang menjadi pendapat adalah benar kecuali kalau tidak berarti dia akan menipu terhadap tanggungjawabnya. Dan Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa di kalangan seorang hamba ….dan dia menipu dalam kepemimpinannya maka Allah akan mengharamkan atasnya syurga” (HR. Muslim)
Adapun khalifah (harus) meninggalkan pendapatnya dan beralih kepada pendapat yang lain jika adopsinya salah. Pendapatnya yang pertama tentang masalah tersebut sebagaimana yang pernah terjadi pada hal tersebut merupakan pendalilan kaidah syara yang masyhur yakni: Amrul Imam yarfa’ul khilaf Umar bin Khattab pernah berbeda pendapat dengan Abu Bakar Shiddiq (khalifah pada waktu itu) terhadap masalah thalaq. Akan tetapi bersamaan dengan itu kaum muslimin dan Umar bin Khattab meninggalkan pendapatnya dan mengikuti pendapat Abu Bakar Ashiddiq. Pada masa khilafah setelah itu (masa kekhalifahan Umar bin Khattab) Umar kembali memegang pendapatnya dan kaum muslimin pun mengikutinya dan meninggalkan pendapatnya Abu Bakar. Dan adapun ijma’ shahabat mengikatkan bahwa bagi seorang imam punya hak untuk mengadopsi hukum-hukum tertentu dan memerintahkan untuk melaksanakan dengan pengadopsiannya dan wajib bagi kaum muslimin untuk mentaatinya walaupun berbeda dengan ijtihad mereka. Jadi, jelaslah bahwa hanya khalifah yang memiliki kewenangan untuk menetapkan dan merubah (mengganti) UUD dan UU dan wajib bagi kaum muslimin secara individu atau pun secara jama’ah untuk beriltizam dan melaksanakan pendapat khalifah tersebut walaupun berbeda dengan pendapat mereka dan tidak diperbolehkan bagi mereka keluar dari pendapat tersebut selama bersandarkan kepada dalil syar’i dan dengan ijtihad yang benar walaupun pendapatnya keliru secara nyata. Hal tersebut merupakan dalil yang qoth’i bahwa sesungguhnya ummat dan rakyat tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan dan mengganti atau mengadopsi materi-materi UUD atau UU dan menjadikan rakyat sebagai pemilik dalam mengadopsi dan merubah UUD dan UU merupakan perbuatan yang bertentangan dengan syara’ dan terhadap thoriqoh islam dalam pemerintahan.
Adapun kesimpulan dalam masalah ini adalah tidak bisa dibedakan dengan pembahasan tiga kaidah dalam nidzamul hukmi fil Islam, yakni kedaulatan di tangan syara’, kekuasaan di tangan ummat, dan kepemimpinan dalam Islam itu individual bukan jama’iyah. Ketiga kaidah tersebut mau tidak mau harus dibedakan. Kaidah yang pertama menunjukkan bahwa kewenangan menetapkan (membuat) hukum hanya lah milik Allah saja. Dan kaidah yang kedua menunjukkan bahwa kewenangan dalam memegang kekuasaan dan membai’at hanya bagi ummah dan kaidah ketiga menunjukkan bahwa kewenangan untuk mengadopsi dan mengurus hanya di tangan khalifah. Hal tersebut merupakan thariqoh islam dalam pemerintahan dan sangat bertentangan dengan thoriqoh pemerintah ideologi kapitalisme yang menjadikan kedaulatan dan kekuasaan di tangan ummat dan memandang bahwa qiyadah (kepemimpinan) berdasarkan kelompok bukan individu. Pemikiran meminta pendapat dalam penetapan UUD dan UU yang merupakan jalan dari sistem demokrasi dalam pemerintahan. Oleh karena itu wajib untuk membuangnya, memeranginya dan menghapus sistem yang menerapkannya.

4 komentar:

  1. iya, sikap spt itulah yang smestinya kt (k'muslimin) lakukan, mngikuti Rasulullah Saw. Rasulullah Saw., adl suritauladan bg kt, termasuk dlm kesabaran dan menghadapi kesulitan. suatu kwajiban bg kt utk brsabar menghadapi cobaan dan Allah akn mmbalas ksabaran kt dg kbaikan.
    "Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu..."(TQS. Ali Imrân [3]: 200)
    ---
    "Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar,.."(TQS. al-Baqarah [2]: 155)

    namun tentu ksabaran itu diikuti dg upaya utk mlepaskan ksulitan yg dialami, dg mngacu kpd hk syara'. wlw Rasul mngalami tantangan, hambatan, dan ancaman, Rasul ttap memperjuangkn tegaknya Syariat Islam krn ini adl kwajiban.

    BalasHapus
  2. di negara demokratis termasuk indonesia, justru penetapan hukum itu melalui parlemen dg cara voting. saling mem-fatwa dan meminta fatwa apakah UU itu perlu dilegalkan atw tdk. apalagi yg dilegalkn hk manusia dan mengabaikn hk syara',jelas ini bertentangan dg syariat islam. whai org2 d parlemen, sadarlah aktivitas kalian d parlemen hrs sgr dtinggalkn. whai para pendakwah yg ada di parlemen strategi dakwah di parlemen jg tdk semestinya dg cara melakukan kekufuran dan mendzolimi ummat.

    BalasHapus
  3. demokrasi sangat bertolak belakang dengan islam. suatu kekeliruan jk menjadikan Demokrasi sbg sarana untuk dakwah di pemerintahan. tdk jg melegalkanny krn dianggap tmsk perkara yg darurat krn msh ada jln lain utk menegakkan islam selain melalui demokrasi yg kufur. tdk seharusnya kaum muslimin menggunakn jln kekufuran utk menegakkan kebenaran. sdh jelas kebobrokan dr demokrasi, tdk perlu lg kt ragu untuk meninggalknnya. perlu diingat pula perubahan hakiki sll bermula dari luar sistem. mari campakkan demokrasi dan junjung tinggi tegaknya Syariat Islam dg cara2 yg Syari'.

    BalasHapus
  4. Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

    BalasHapus