TOP NEWS

Mitra Dakwah

12 Juni 2014

Pilpres 2014 dan Masa Depan Ummat


Sesungguhnya jabatan (kekuasaan) itu adalah amanah. Sesungguhnya jabatan (kekuasaan) itu pada Hari Kiamat akan berubah menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan benar dan menunaikan apa saja yang menjadi kewajibannya (HR Muslim, Ahmad, Ibn Abi Syaibah dan al-Hakim).


Pilpres, Berebut Kehinaan
Pemilihan Presiden (Pilpres) Indonesia yang akan dilaksanakan pada 9 Juli 2014 nanti digadang-gadang masyarakat untuk bisa membawa perubahan dan bisa membuat Indonesia menjadi lebih baik. Namun banyak pakar politik yang justru berpikir sebaliknya, Pileg dan Pilpres 2014 tidak akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Salah satunya, seperti yang diungkapkan Pakar Ilmu Pemerintahan, yang pernah menjadi dosen Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Andi Azikin, “Jadi saya melihat mustahil harapan rakyat dapat dipenuhi karena dua syarat untuk perubahan kepada yang lebih baik itu tidak dipenuhi,” ungkapnya seperti diberitakan Tabloid Media Umat Edisi 119, Jum’at (2-16 Januari). Syarat tersebut, menurut Andi meliputi individu calon pemimpin dan sistem pemerintahan yang diberlakukan.
            Apa yang disampaikan pak Andi Azikin tersebut memang benar mengingat Persoalan Indonesia bukan sekadar persoalan rezim tetapi persoalan sistem juga. Selama para calon presiden tidak menyentuh perubahan sistem, dipastikan 100% tidak akan membawa perubahan yang mendasar. Calon presiden yang ada di Indonesia tidak ada yang memiliki integritas akhlak yang sudah teruji dan tidak memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan secara fundamental. Calon presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto dicalonkan hanya karena popularitas dan uang saja. Ketika salah satunya menang dalam pilpres dan menjadi Presiden, dipastikan akan mengemban sistem kufur demokrasi dan melalaikan kewajiban yang Allah Swt bebankan kepada seorang pemimpin. Walhasil, jabatan presiden tersebut akan berbuah kehinaan dan penyesalan ketika menghadap Allah Swt.

Koalisi Sekadar Memburu Kekuasaan dan Jabatan
Untuk meraih posisi kepemimpinan, Jokowi yang diusung PDIP dan Prabowo yang diusung Gerindra masing-masing membentuk tim sukses dan berkoalisi dengan partai-partai lainnya. Koalisi pun dijalin dengan siapa saja asalkan lebih berpeluang menang. Jokowi-Jk didukung partai PDIP, Nasdem, PKB, Hanura, dan PKPI sedangkan Prabowo-Hatta didukung partai Gerindra, PAN, PPP, PKS, PBB, Golkar, dan Demokrat. Berdasarkan koalisi yang terjalin, Prabowo-Hatta diuntungkan oleh lebih besar mesin partai politik. Hal ini sebagaimana diungkap Kepala Riset Indonesia Research Centre (IRC), Yunita Mandolang di Jakarta, Jumat (6/6), total prosentase suara partai di belakang mereka 48,93% dan setelah Demokrat bergabung menjadi sebesar 59,12%. Sementara koalisi partai di belakang Jokowi hanya 40,88%. Namun, dari segi popularitas, berdasarkan riset LSI, banyak masyarakat yang lebih memilih Jokowi-Jk. Hasil riset terbaru Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang dilakukan pada bulan mei 2014 menyebutkan, publik yang mendukung pasangan capres-cawapres, Joko Widodo-Jusuf Kala mencapai 35,42%, sementara pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa 22,75%. Massa mengambang atau belum menentukan pilihan terhadap pasangan capres tertentu mencapai 41,80%.
Koalisi dalam pilpres pada dasarnya memiliki dua tujuan utama: Pertama, menggalang dukungan parpol untuk pencalonan dan pemenangan dalam ajang Pilpres. Kedua, memburu kekuasaan dan jabatan. Soal visi, gagasan dan ideologi tak lagi jadi bahan pertimbangan dalam berkoalisi. Hal itu juga ditunjukkan oleh parpol Islam atau yang berbasis massa Islam. Jika sebelum Pileg mereka gencar menyeru masyarakat untuk tidak golput agar pemerinahan tidak dikuasai oleh orang kafir dan orang-orang sekular, setelah Pileg mereka justru berkoalisi dengan parpol sekuler yang dihuni orang-orang kafir dan orang-orang sekular untuk memenangkan partai sekular tersebut. Mereka turut andil dalam memperkokoh sekularisme di Indonesia dengan bergabungnya mereka pada partai sekular, sebab para kandidat yang mereka usung baik Jokowi-Jk maupun Prabowo-Hatta sama-sama sekular. Visi dan misi yang mereka usung sama sekali tidak ada unsur penerapan Syariat Islam.
Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Prof .Dr. Ryaas Rasyid tidak melihat Prabowo-Hatta akan menerapkan syariah Islam. Seperti dilansir Tabloid Media Umat Edisi 129, Jum’at 6-19 Juni, Menurut Ryaas Rasyid, dirinya tidak bisa membayangkan dalam pemerintahan Prabowo-Hatta syariah akan diterapkan. Kalau satu hukum syariah saja diterapkan dalam bentuk UU, itu kontroversinya akan besar. Karena syariah itu benturannya dengan konstitusi. Prabowo sendiri tidak pernah menampilkan dirinya akan memimpin semacam negara Islam atau sistem yang islami. Begitu juga parpol Islam dan berbasis massa Islam pendukung Prabowo tidak pernah mengatakan akan menerapkan syariah Islam. Menteri-menteri dari parpol Islam dan berbasis massa Islam juga ketika sidang kabinet tidak menyinggung masalah itu. Tentu hal ini pun berlaku bagi koalisi pasangan Jokowi-Jk.
            Koalisi parpol Islam dan parpol sekuler di Indonesia sudah lama terjadi. Fakta ini tidak terjadi belakangan ini saja, katakanlah tahun 1999 ketika ada koalisi yang disebut Poros Tengah, yang dimotori PAN (partai sekuler) dan PPP (partai Islam) guna menggolkan Gus Dur sebagai Presiden RI ke-4. Bahkan sejak tahun 1945, koalisi seperti ini sudah pernah terjadi. Masyumi sebagai parpol Islam telah menjalin koalisi dengan berbagai parpol sekuler. Pada tahun 1945-1946 (Kabinet Syahrir I), terjadi koalisi Masyumi – Parkindo (Partai Kristen Indonesia). Lalu, pada tahun 1950-1951 (Kabinet Natsir) terjadi koalisi Masyumi – PSI (Partai Sosialis Indonesia), tahun 1951-1952 (Kabinet Sukiman) dan tahun 1952-1953 (Kabinet Wilopo) terjadi koalisi Masyumi – PNI. Pada masa kini, koalisi parpol Islam dan parpol sekuler juga sering terjadi, seperti dalam berbagai Pilkada. Di Pilkada Gubernur Sulawesi Selatan tahun 2007, PKS berkoalisi dengan Partai Golkar, bahkan di Papua PKS berkoalisi dengan PDS (partai Kristen).
Motif koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler tidak lagi didasarkan pada kesamaan ideologi namun lebih pada aspek pragmatisme yang justru menghilangkan identitas mereka sebagai partai Islam. Parpol Islam saling tolong menolong dengan parpol sekuler dalam perjuangan menerapkan, mempertahankan, dan menyebarkan sistem sekuler. Menurut K.H. M. Shiddiq al-Jawi, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler merupakan keharaman. Hal ini dikarenakan aktivitas koalisi yang mereka bentuk mengharuskan beberapa aktivitas yang diharamkan, antara lain: tolong menolong dalam segala kebatilan (al-bathil), dosa (al-ma-atsim), dan hal-hal yang diharamkan (al-maharim), yakni memilih presiden dan wakil presiden yang akan menjalankan UU Kufur, menyepakati berbagai syarat-syarat yang haram seperti kesepakatan untuk mendukung produk UU yang bertentangan dengan Islam, memperkokoh rezim sekuler yang seharusnya di deligitimasi sesegera mungkin, dan menyebabkan aktivis partai Islam menimbulkan kecenderungan (sikap rela/setuju) pada partai sekuler yang bathil. Dalil Larangan (QS Huud [11] : 113).
Koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler akan memperlama umur kebatilan, yaitu sistem demokasi-sekuler sekarang. Selain itu koalisi akan mengantarkan pada jabatan-jabatan sekuler jika partai tersebut menang dalam pemilihan. Koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler merupakan suatu perjanjian (mu’ahadah) atau kesepakatan (mu’aaqadah; ittifaaq) yang terlarang dalam Islam, karena tujuannya untuk saling memperkuat (at-ta’adhud) atau menolong (at-tasaa’ud), bertentangan dengan ajaran Islam. Perjanjian atau kesepakatan semacam ini haram hukumnya, sesuai sabda Nabi SAW :
لا حِلْفَ فِي الإِسْلام

“Tidak boleh ada perjanjian [yang batil] dalam Islam.” (HR Bukhari no 2130; Muslim no 4593; Abu Dawud no 2536; Ahmad no 13475).

Tetap Dalam Cengkerangan Asing
Siapapun yang menang nanti, kepentingan masyarakat luas lagi-lagi akan selalu terpinggirkan. Hal ini terjadi karena koalisi dalam sistem demokrasi merupakan koalisi transaksional,bagi-bagi jatah keuntungan, sehingga  kepentingan pribadi, partai, dan kepentingan orang-orang dibalik layar (dalang) yang akan lebih didahulukan. Dalang ini bisa dalang dalam negeri, seperti para konglomerat atau partai politik, dan bisa juga dalang luar negeri, seperti perusahaan asing (multinational corporation) atau pemerintahan yang berkuasa/adidaya.
Capres dan cawapres terpilih diramalkan sulit lepas dari kendali tangan-tangan besar yang tak terlihat (invisible hand). Para kandidat dimanfaatkan oleh para dalang di balik layar untuk kepentingan mereka. Caranya dengan mengucurkan bantuan pendanaan, pencitraan, dsb. Cawapres Hatta Rajasa dan cawapres Jusuf Kalla dikabarkan dikuasai mafia migas dan konglomerat hitam. Di belakang cawapres Hatta Rajasa ditengarai ada rombongan cukong di bawah pengusaha besar yang menunggu jatah proyek, salah satunya jembatan Selat Sunda. Begitu pula cawapres Jusuf Kalla yang diduga kuat disokong konglomerasi yang sangat pro pasar bebas, dan konsorsium mafia migas. Cawapres pendamping Prabowo dan Jokowi ‘memuja’ pasar bebas dan nepotisme terhadap kepentingan grup mereka.
Cengkeraman pemerintahan Asing terhadap pemerintahan Indonesia pun sangat jelas terlihat. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, Indonesia berporos ke Blok Timur yaitu Cina dan Moskow. Presiden Soeharto menjadi boneka Amerika, melakukan proses legalisasi berbagai kepentingan Amerika. Maka muncullah sejumlah UU, termasuk terbitnya UU Penanaman Modal Asing tahun 1967. Kemudian disusul terbitnya UU Pertambangan, UU Kehutanan, UU Perdagangan, dll. Presiden BJ Habibie pun tak lepas dari cengkeraman Amerika, tak berkutik ketika harus melepaskan Timor Timur dari Indonesia. Berikutnya Presiden Abdurrahman Wahid pun diarahkan untuk memberikan kebebasan seluas-luasnya bagi semua pihak di Indonesia. Termasuk mencabut Tap MPR tentang larangan terhadap partai komunis. Sementara Presiden Megawati Soekarnoputri, pada masa pemerintahannya berbagai kebijakan pro neoliberalisme bermunculan. Ia pun begitu dekat dengan para konglomerat hitam. Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pun diberi potongan sampai dibebaskan. Berbagai perundang-undangan pro asing juga muncul pada masa rezimnya. Pada rezim Susilo Bambang Yudhoyono, bahkan berani menyebut Amerika adalah negara kedua baginya. Pada masa ini, Amerika panen. Soalnya, kadernya itu tersebar luas baik di birokrasi, parlemen maupun di tengah masyarakat. Liberalisasi besar-besaran terjadi. Perusahaan-perusahaan asing di masa Soeharto seperti Freeport dan Chevron serta Exxon mendapat angin lagi di masa rezim ini. Demikian juga perusahaan multinasional lainnya di bidang pertambangan dan energi.
Hegemoni asing membuat calon presiden negeri ini pun tidak berdaya. Ketidakberdayaan para pemimpin ini terjadi karena dunia Islam telah diintervensi pemikirannya dengan pemikiran Barat. Mereka harus mendapat restu dan dukungan Asing untuk bisa mendapatkan posisi presiden dengan nyaman. Begitu PDIP yakin memenangi pemilu legislatif, Jokowi langsung roadshow ke mana-mana. Ia bersama Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, bertemu dengan Dubes Amerika Serikat, Robert O Blake, Senin (14/4/14). Pertemuan itu juga dihadiri beberapa perwakilan duta besar negara yang lain, termasuk Inggris dan Vatikan. Dihadapan media, Jokowi sendiri mengakui pertemuan tersebut untuk mendapatkan dukungan.
Setali tiga uang dengan Jokowi, Prabowo juga sebenarnya jauh-jauh hari sudah kasak-kusuk ke Amerika. Memang tidak secara langsung, tapi melalui adiknya, pengusaha Hashim Djojohadikusumo. Kepada redaksi Trans TV, Hashim mengaku sempat mondar-mandir delapan kali ke Amerika. "Saya sudah delapan kali ke Washington, sudah bertemu senator, kongres, saya ketemu-macam-macam. banyak yang senang dengan Pak Prabowo di Washington," kata Hashim seperti dikutip detik.com (12/2/14).

Pendidikan Politik Islam dan Masa Depan Ummat
Selama masyarakat tidak mau disadarkan dengan pekimiran Islam, para politisi parpol tetap menjerumuskan masyarakat kepada demokrasi-sekular, dan pemerintah tidak melepaskan diri dari cengkeraman asing dan menerapkan syariat Islam, maka Indonesia tidak akan menjadi lebih baik. Masyarakat sudah terlalu sering mendapatkan janji kosong dalam pemilu. Setiap partai politik pun telah mengusung perubahan  namun perubahan itu tidak didapatkan oleh masyarakat. Harapan masyarakat untuk perubahan Indonesia yang lebih baik akan menjadi mimpi di siang bolong. Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Sunny Tanuwidjaja, pada tahun 2012 mengatakan kepercayaan masyarakat terhadap partai politik saat ini sangat rendah. Sunny menyatakan hanya 22,4 persen responden menilai partai politik memiliki kinerja yang baik, sisanya menilai sebaliknya. Banyak politisi memilih dan mempromosikan orang untuk menjadi pemimpin karena orang itu banyak uang dan orang itu banyak memberikan bantuan yang besar, bukan karena dia memenuhi kriteria sebagai pemimpin.
Pengamat Politik dari Universitas Indonesia Andrinof Chaniago mendesak agar adanya perbaikan tingkah laku para politisi dan menjalankan fungsinya dengan benar. Rakyat melihat kebijakan penguasa yang berasal dari partai-partai tidak berpihak pada rakyat bahkan sangat menyengsarakan rakyat. Cara-cara kampanye partai politik (parpol) yang bertarung dalam pemilu 2014 sungguh menyedihkan. Seruan-seruan kampanye jarang ada yang berbobot, yang penting massa tertarik dan senang. Kampanye hitam dan kampanye negative yang berdasarkan etika perpolitikan demokrasi pun tidak dibenarkan tetapi pada kenyataannya kampanye seperti itu menjadi lazim dalam sistem demokrasi yang mengedepankan kebebasan. Hal ini semakin mendorong ketidakpercayaan publik pada politik dan menganggap perpolitikan adalah sesuatu yang kotor.
Politik yang dimaksud adalah politik sebagai “struggle for power” perlombaan meraih kekuasaan. Politik dalam bingkai demokrasi adalah jalan (thoriqoh) untuk meraih kekuasaan  bagi yang kuat dan berpengaruh secara modal dan kekuasaan. Kekuasaan sebagai konsepsi politik telah menyeruak dan mengisi setiap benak umat manusia. Konsepsi politik seperti ini muncul sejak adanya ide pemisahan agama dengan negara (sekulerisme), dan para penganutnya didominasi oleh ide mengambil jalan tengah (kompromi). Barat (Eropa dan Amerika yang menjadi kiblat politik dunia saat ini) telah menyebarkan konsep-konsep politik berdasarkan sekulerisme dan kompromi. Konsepsi inilah yang dipelajari para pelajar ilmu politik di seluruh dunia. Barat juga melakukan penjajahan politik baik secara langsung maupun tidak langsung. Hasilnya, masyarakat hanya mengenal sistem dan konsepsi politik ala barat. Ketika berbicara tentang aktivitas politik, maka yang tergambar dalam benak masyarakat adalah menjadi anggota legislatif dan penguasa sehingga lahirlah para politisi yang semata-mata mencari kekuasaan, para politisi pragmatis.
Kekuasaan dan jabatan semestinya diberikan kepada orang yang layak, bukan kepada mereka yang berjasa kepada penguasa. Orang yang layak tentulah orang yang bertakwa, shalih serta punya kemampuan. Rasulullah Saw bersabda:

« إِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ » قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ « إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ »

Jika amanah disia-siakan, tunggulah saat-saat kehancuran.” Ada yang bertanya, “Bagaimana amanah itu disia-siakan?” Beliau bersabda, “Jika suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat-saat kehancuran.”(HR al-Bukhari dan Ahmad).

Perlu adanya perubahan mindset atau paradigma berfikir pada umat Islam tentang politik. Perlu adanya edukasi, dan pembinaan, untuk menyadarkan umat bahwa konsepsi politik yang diterapkan di dunia saat ini adalah konsepsi yang berasal dari ideologi kapitalis-sekuler yang membahayakan umat, dan menambah panjang deretan penderitaan umat. Umat perlu dipahamkan bahwa ada konsepsi politik lain yang hakiki yang bisa membawa umat pada kemajuan dan kemuliaan, yaitu konsepsi politik Islam. Politik dalam islam adalah pengaturan urusan umat yang meliputi pemeliharaan seluruh urusan umat di dalam negeri maupun luar negeri, baik pelakunya negara maupun umat. Dalam hal ini negara bertindak secara langsung mengatur dan melihara umat melalui penerapan hukum sedangkan umat bertindak sebagai pengawas dan pengoreksi pelaksanaan pengaturan tadi oleh negara.
Umat harus mendapatkan pendidikan politik islam, untuk mewujudkan politisi islam ideologis, ini merupakan metode yang harus dijalankan. Pendidikan ini harus dilakukan dengan menanamkan pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum islam serta mengikuti peristiwa politik. Kemudian, pemikiran dan hukum tersebut dikaitkan dengan berbagai peristiwa dan kejadian politik. Pembinaan politik terhadap umat inilah yang akan menghasilkan sejumlah besar politisi Islam Ideologis yang berperan serta dalam pemnyadaran umat sehingga umat bisa menuju jalan yang telah Allah Ridhoi. Ketika Umat menyerahkan kekuasaan kepada para politisi Islam Ideologis tentulah mereka akan membawa perubahan hakiki yang menjadi harapan dan cita-cita umat dan membuat Indonesia menjadi lebih baik. Karena politisi Islam Ideologis merupakan sosok politisi yang memperhatikan urusan rakyat, dan mengaturnya sesuai dengan kehendak Pemilik Alam Semesta, Allah Swt. Melakukan amar makruf nahi mungkar, sigap mengawal penguasa dalam menerapkan hukum-hukum-Nya. Menimbang segala permasalahan umat dengan sudut pandang Islam dan mengambil solusi atas segala persoalan dengan solusi Islam.
Tugas ini akan sempurna jika dijalankan di dalam sistem pemerintahan Islam. Itulah Sistem Khilafah yang dipimpin oleh seorang khalifah. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

«فَالإِمَامُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»

Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya (HR al-Bukhari).


Hadis ini sekaligus mengisyaratkan bahwa tugas politik, yaitu mengurus rakyat, menjadi tugas dan tanggung jawab khalifah. Dialah yang berkewajiban menerapkan syariah Islam secara total. Semua itu bisa terwujud jika kaum Muslim kembali kepada Islam dengan menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam naungan khilafah. Di sanalah izzah Islam akan tampak. 
04.14.00 Diposting oleh sl_santoproduct 0

23 Maret 2014

Demokrasi Sistem Kufur

Umat masih silau dengan janji demokrasi berupa keadilan dan kesejahteraan. Sebaliknya, mereka takut dicap anti-demokrasi. Terdapat juga di kalangan umat yang menyamakan Islam dengan demokrasi. Bahkan ada yang memaksakan Demokrasi-Islam sebagai tambal sulam dari Demokrasi-Kapitalisme yang gagal. Apa itu Demokrasi Demokrasi adalah (bentuk atau sistem) pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Dalam demokrasi kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Pemerintahan dijalankan langsung oleh mereka atau oleh wakil-wakil yang mereka pilih di bawah setiap pemilihan bebas. Sebagaimana ucapan Abraham Lincoln bahwa demokrasi adalah suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam setting sosio-historisnya di Barat, demokrasi lahir sebagai solusi dari dominasi gereja yang otoritarian dan absolut sepanjang Abad Pertengahan (abad V-XV M). Di satu sisi ekstrem, dominasi gereja yang berkolaborasi dengan para raja Eropa menghendaki tunduknya seluruh urusan kehidupan (politik, ekonomi, seni, sosial, dll) pada aturan-aturan gereja. Di sisi ekstrem lainnya, dominasi gereja ini ditentang oleh para filosof dan pemikir yang menolak secara mutlak peran gereja (Katolik) dalam kehidupan. Terjadinya Reformasi Gereja, Renaissance dan Humanisme, menjadi titik tolak awal untuk meruntuhkan dominasi gereja itu. Akhirnya, pasca Revolusi Prancis tahun 1789, terwujudlah jalan tengah dari dua sisi ekstrem itu, yang terumuskan dalam paham sekularisme, yakni paham pemisahan agama dari kehidupan. Agama tidak diingkari secara total, tetapi masih diakui walaupun secara terbatas, yaitu hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Lalu hubungan manusia dengan manusia siapakah yang mengatur dan membuat hukumnya? Jawabannya, tentu manusia itu sendiri, bukan Tuhan atau agama. Pada titik inilah demokrasi lahir. Walhasil, demokrasi memberikan kepada manusia dua hal: (1) Hak membuat hukum (legislasi). Inilah prinsip kedaulatan rakyat (as-siyadah li al sya’bi). Prinsip ini kebalikan dari kondisi sebelumnya, yaitu hukum dibuat oleh para tokoh-tokoh gereja atas nama Tuhan. (2) Hak memilih penguasa. Inilah prinsip kekuasaan rakyat (as-sulthan li al-ummah). Prinsip ini kebalikan dari kondisi sebelumnya, yaitu penguasa (raja) diangkat oleh Tuhan sebagai wakil Tuhan di muka bumi dalam sistem monarki absolut. Jadi, dalam demokrasi, rakyat adalah sumber legislasi dan sumber kekuasaan (source of legislation and authority). Demokrasi sesungguhnya adalah seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan. Demokrasi juga mencakup seperangkat praktik dan prosedur yang terbentuk melalui sejarah panjang dan sering berliku-liku. Pendeknya, demokrasi adalah pelembagaan dari kebebasan. Maka dari itu, munculah kebebasan di segala aspek kehidupan. Sistem demokrasi melahirkan beberapa poin yang akhirnya menjadi sokoguru demokrasi: (a) kedaulatan rakyat; (b) pemerintah berdasarkan persetujuan dari yang diperintah; (c) kekuasaan mayoritas; (d) hak-hak minoritas; (e) jaminan HAM; (f) pemilihan yang bebas dan jujur; (g) persamaan di depan hukum; (h) proses hukum yang wajar; (i) pembatasan pemerintahan secara konstitusional; (j) pluralisme sosial, ekonomi dan politik; ( k) nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama dan mufakat. Demokrasi vs Islam Jelaslah, demokrasi merupakan ideologi buatan manusia. Akidahnya memisahkan agama dari kehidupan (sekular), kontradiksi dengan akidah Islam. Sistemnya juga menyalahi sistem Islam karena tidak bersandar pada wahyu Allah SWT. Demokrasi hanya bersandar pada rakyat. Keburukan yang menonjol dari demokrasi adalah suara mayoritas dalam menentukan kebenaran. Jelas sekali demokrasi bertentangan dengan Islam (Lihat: QS al-An’am [6]: 116). Islam mengharamkan demokrasi karena tiga alasan. Pertama: perekayasa ide demokrasi adalah negara-negara kafir Barat. Hal ini merupakan agresi ke Dunia Islam. Siapapun yang menerima dan mendorong demokrasi merupakan antek penjajah dan kroni penjajah serta menjadi penguasa boneka Barat. Kedua: demokrasi merupakan pemikiran utopis, tidak layak diimplementasikan. Manakala suatu negara menerapkan demokrasi, mereka sering melakukan kebohongan, manipulasi dan rekayasa sehingga menyesatkan umat manusia, seperti dalam penyusunan hukum dan undang-undang. Ketiga: sistem demokrasi adalah sistem buatan manusia. Sistem tersebut disusun manusia untuk manusia. Pasalnya, manusia tidak bisa lepas dari kesalahan. Sesungguhnya hanya Allah yang terbebas dari kesalahan. Karena itu, hanya sistem dari Allah saja yang patut dianut. Dengan demikian demokrasi merupakan sistem kufur karena tidak bersumber dari syariah Islam. Dalam kitab Mafahim Siyasiyah li Hizb at-Tahrir (2005) dijelaskan, demokrasi itu kufur bukan karena konsepnya bahwa rakyat menjadi sumber kekuasaan, melainkan karena konsepnya bahwa manusia berhak membuat hukum (kedaulatan di tangan rakyat). Kekufuran demokrasi dari segi konsep kedaulatan tersebut sangat jelas. Sebab, menurut ‘Aqidah Islam, yang berhak membuat hukum hanya Allah SWT, bukan manusia (QS al-An’am [6]: 57). Itulah titik kritis dalam demokrasi yang sungguh bertentangan secara frontal dengan Islam. Memberi hak kepada manusia untuk membuat hukum adalah suatu kekufuran (QS al-Ma’idah [5]: 44). Abdul Qadim Zallum (1990: 4) menjelaskan adanya kontradiksi-kontradiksi lain antara demokrasi dan Islam, antara lain: a. Dari segi sumber: Demokrasi berasal dari manusia dan merupakan produk akal manusia. Sebaliknya, Islam berasal dari Allah SWT melalui wahyu yang diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad saw. b. Dari segi asas: Demokrasi asasnya adalah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Islam asasnya ‘Aqidah Islamiyah yang mewajibkan penerapan syariah Islam dalam segala bidang kehidupan (QS 2: 208). c. Dari segi standar pengambilan pendapat: Demokrasi menggunakan standar mayoritas. Dalam Islam, standar yang dipakai tergantung materi yang dibahas. Rinciannya: (1) jika materinya menyangkut status hukum syariah, standarnya adalah dalil syariah terkuat, bukan suara mayoritas; (2) jika materinya menyangkut aspek-aspek teknis dari suatu aktivitas, standarnya suara mayoritas; (3) jika materinya menyangkut aspek-aspek yang memerlukan keahlian, standarnya adalah pendapat yang paling tepat, bukan suara mayoritas. d. Dari segi ide kebebasan: Demokrasi menyerukan 4 jenis kebebasan (al-hurriyat). Kebebasan adalah tidak adanya keterikatan dengan apa pun pada saat melakukan aktivitas. Sebaliknya, Islam tidak mengakui kebebasan dalam pengertian Barat. Islam justru mewajibkan keterikatan manusia dengan syariah Islam. Dengan demikian, demokrasi yang telah dijajakan Barat yang kafir ke negeri-negeri Islam sesungguhnya merupakan sistem kufur. Tidak ada hubungannya dengan Islam sama sekali, baik secara langsung maupun tidak langsung. Demokrasi sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam, baik secara garis besar maupun secara rinciannya. Oleh karena itu, kaum Muslim diharamkan secara mutlak untuk mengambil, menerapkan dan menyebarluaskan demokrasi. Apalagi mengaitkan demokrasi dengan Islam. Syura bukan Demokrasi Anggapan bahwa syura (musyawarah) sama dengan demokrasi telah masyhur didengar meski anggapan ini sesungguhnya tidak benar. Anggapan itu muncul karena kafir penjajah sukses menyembunyikan kebusukan demokrasi. Demokrasi dijadikan oleh kafir Barat sebagai salah satu penjajahan atas negeri-negeri kaum Muslim, selain itu juga digunakan untuk memalingkan Islam dari umatnya. Menurut syariah, syura adalah mengambil pendapat (akhdh ar-ra’yi) (An-Nabhani 1994: 246). Jelasnya, syura adalah mencari pendapat dari orang yang diajak bermusyawarah (Zallum, 2002:216). Istilah lain syura adalah masyura atau at-tasyawwur. Hukum syura adalah mandub/sunnah, bukan wajib. Hal ini sesuai dengan perintah Allah dalam QS Ali Imran [3]: 159. Pendapat itu sejalan dengan para ahli tafsir seperti Ibn Jarir ath-Thabari (Jami’ Al-Bayan, IV/153), Al-Alusi (Ruh al-Ma’ani, IV/106-107), Az-Zamakhsyari (Al-Kasysyaf, I/474), Imam al-Qurtubhi (Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, IV/249-252) dan Ibnul ‘Arabi (Ahkam al-Qur’an, I/298). Syura adalah hak kaum Muslim semata. Pihak pemegang kewenangan seperti khalifah, ketika hendak meminta atau mengambil pendapat, ia hanya mengambilnya dari kaum Muslim. Tegasnya, syura adalah proses pengambilan pendapat yang khusus di kalangan internal sesama orang Islam. Tidak boleh dalam syura mengambil pendapat dari orang kafir meskipun boleh orang kafir menyampaikan pendapat kepada orang Islam dan boleh kaum Muslim mendengarkan pendapat dari orang kafir tersebut (An-Nabhani, 2001: 111). Kekhususan ini sebagaimana dalam QS Al-Imran [3]: 159. Memang dalam demokrasi suara mayoritaslah yang menjadi penentu dalam setiap bidang permasalahan. Adapun dalam syura kriteria pendapat yang diambil bergantung pada permasalahan yang dimusyawarahkan. Rinciannya ada tiga. Pertama: dalam penentuan hukum syariah (at-tasyri’). Kriterianya tidak bergantung pada pendapat mayoritas atau minoritas, melainkan pada nash al-Quran dan as-Sunnah. Sebab yang menjadi Pembuat hukum (Musyarri’) hanyalah Allah SWT. bukan umat atau rakyat. Sebagai contoh, tidak perlu meminta pendapat kepada umat apakah khamr haram atau tidak walaupun di situ ada kemanfaatan dan pendapatan sebagaimana dalam sistem kapitalis-sekular. Jelas, Islam mengharamkannya. Kedua: dalam masalah yang berhubungan dengan aspek-aspek profesi dan ide yang membutuhkan keahlian, pemikiran dan pertimbangan yang mendalam. Dalam hal ini, yang dijadikan kriteria adalah ketepatan dan kebenarannya, bukan berdasarkan suara mayoritas atau minoritas. Jadi, masalah yang ada harus dikembalikan pada para ahli yang berkompeten. Merekalah yang memahami permasalahan yang ada secara tepat. Masalah kemiliteran, misalnya, dikembalikan kepada pakar militer. Masalah fikih dikembalikan kepada para fukaha dan mujtahid. Dalil untuk ketentuan ini adalah peristiwa ketika Rasulullah saw. mengikuti pendapat Hubab bin Al-Mundzir pada Perang Badar—yang saat itu merupakan pakar dalam hal tempat-tempat strategis—yang mengusulkan kepada Nabi saw. agar meningggalkan tempat yang dipilih beliau sekiranya tempat itu bukan dari wahyu (Sirah Ibnu Hisyam, II/272). Ketiga: masalah yang langsung menuju pada amal/tindakan (bersifat praktis), yang tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan mendalam. Dalam hal ini, yang menjadi patokan adalah suara mayoritas karena mayoritas orang dapat memahaminya dan dapat memberikan pendapatnya degan mudah menurut pertimbangan kemaslahatan yang ada. Sebagai contoh, apakah kita akan memilih si A atau si B (sebagai kepala negara atu ketua oraganisasi), apakah kita akan keluar kota atau tidak. Masalah seperti ini dapat dijangkau oleh setiap orang. Mereka dapat memberikan pendapatnya. Dalil untuk ketentuan ini ketika ada dua pendapat dari para sahabat dalam Perang Uhud. Nabi saw. mengikuti pendapat sahabat muda yang menyarankan untuk keluar dari Kota Madinah dan mengabaikan pendapat sahabat senior yang meminta tetap di Kota Madinah. Dengan demikian, jelas bahwa syura berbeda dengan demokrasi. Khatimah Demokrasi bukanlah jalan bagi umat Islam. Menyamakan demokrasi dengan Islam sama saja menyampurkan yang haq dengan batil. Hal ini bertentangan dengan Islam (QS al-Baqarah [2]: 42). Demokrasi merupakan sistem kufur; haram diambil, diterapkan dan dipropagandakan. Sistem demokrasi harus diganti dengan sistem Islam dalam institusi Khilafah. Inilah jalan sahih bagi umat Islam untuk mendapatkan kesejahteraan dan keadilan. Karena itu, segera tinggalkan demokrasi; tegakkan syariah dan Khilafah. Insya Allah. WalLahu a’alam bi ash-shawwab. [Hanif Kristianto]
05.05.00 Diposting oleh sl_santoproduct 0

04 September 2012

Konsepsi Islam Tentang Negara


Keberadaan Negara, Sebuah Keniscyaan
Apa sih negara itu? Banyak definisi diberikan orang. Miriyam Budiharjo dalam buku Dasar-dasar Ilmu Politik mengutip sejumlah rumusan para sarjana Barat tentang negara.
1. Roger H. Soltau: "Negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas nama masyarakat" (The state is agency or authority managing and controlling these (common) affairs on behalf of and in the name of the community).
2. Harold J. Laski: "Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerjasama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama. Masyarakat merupakan negara kalau cara hidup yang harus ditaati baik oleh individu-individu maupun asosiasi-asosiasi ditentukan oleh suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat". (The state is society which is integrated by possessing a coercive authority legally supreme over any individual or group which is part of the society. A society is e a group of human beings living together and working together for the satisfactions of their mutual wants. Such a society is a state when the way of life to which both inviduals and associations must conform is difined by coercive authority binding upon them all).
3. Max Weber: "Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah" (The state is human society that (successfully) claims the monopoly of the legitimate use of physical force within a given territory).
4. Rober M. MacIver: "Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan system hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa" (The state is an association which, acting through law as promulgated by a government endowed to this end with coercive power, maintains within a community territorially demarcated the external conditions of order).
Dari rumusan-rumusan di atas, Miriam Budiarjo membuat definisi umum tentang negara adalah suatu daerah territorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundanganya melalui penguasaan (kontrol) monopolistis dari kekuasaan yang sah.
Selanjutnya Budiarjo menerangkan adanya sifat-sifat khusus sebagai manifestasi dari kedaulatan yang dimiliki negara, yaitu: (1) sifat memaksa, dalam arti mempunyai kekuasaan untuk memakai kekerasaan fisik secara legal dengan menggunakan tentara dan polisi agar peraturan perundangan ditaati dan mencegah timbulnya anarkisme. (2) Sifat monopoli, dalam menetapkan tujuan bersama dari masyarakat. Dalam rangka ini negara dapat menyatakan bahwa suatu aliran kepercayaan atau politik tertentu dilarang hidup dan disebarluaskan. (3) Sifat mencakup semua, artinya semua peraturan perundangan berlaku untuk semua orang tanpa kecuali.
Budiarjo juga menjelaskan bahwa negara itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
1. Wilayah, luasan tertentu tempat hidup warga negara dimana kekuasaan berlaku dengan batas wilayah tertentu yang besar kecilnya bersifat relatif.
2. Penduduk, orang-orang yang tinggal dalam wilayah negara dimana kekuasaan negara menjangkau mereka, jumlahnya bersifat relatif.
3. Pemerintah, organisasi negara yang berwenang untuk merumuskan dan melaksanakan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh penduduk di dalam wilayahnya.(4). Kedaulatan, kekuasaan yang tertinggi untuk membuat undang-undang dan melaksanakannya dengan semua cara (termasuk paksaan) yang tersedia.
Dan fungsi minimum suatu negara, papun ideologinya, menurut Budiarjo adalah:
1. Melaksanakan penertiban (law an order); untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat.
2. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
3. Pertahanan; untuk menjaga kemungkinan serangan luar. Untuk ini negara perlu dilengkapi dengan alat-alat pertanahan.
4. Menegakkan keadilan; hal ini dilaksanakan melalui badan pengadilan.
Dengan memahami definisi, sifat-sifat, unsur-unsur, dan fungsi-fungsi negara di atas dapat kita sadari betapa keberadaan suatu negara bagi masyarakat baik modern maupun primitif adalah suatu keniscayaan yang tak perlu dipertanyakan lagi. Maka tidak heran kita melihat bahwa sepanjang sejarah kemanusiaan ada negara dengan bentuk dan system pemerintahan yang bermacam-macam sesuai dengan dengan pemahaman ideologi yang dianut masyarakatnya. Ada negara kota Yunani, ada negara Kekaisaran Romawi, ada negara Kisra Persia, ada negara Firaun, ada negara kerajaan Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman, ada negara Raja Najasyi, ada negara Islam yang ditegakkan Nabi Muhammad saw. yang dilanjutkan oleh para sahabat beliau saw. yang menggantikannya yang disebut negara khilafah ala minhajin nubuwwah, ada negara monarki Inggris, Belanda, ada kekaisaran Jerman, Perancis, Austria, dan Rusia, Kekaisaran Cina dan Jepang, ada negara republik Perancis, Jerman, dan Amerika Serikat, dan lain-lain. Di negeri kita ini ada negara Kutai, Mataram Hindu, Sriwijaya, Singasari, Majapahit, Pajajaran, Demak, Pajang, Mataram Islam, Banten, Goa, Ternate, Tidore, Aceh, pernah menjadi propinsi koloni Belanda, Perancis (di masa Daendles), Inggris (di masa Raffles) , dan Jepang, serta menjadi republik Indonesia. Ya masyarakat manapun pasti memerlukan negara.
Oleh karena itu, bagi masyarakat muslim kapan dan dimanapun, kecuali segelintir orang yang telah kehilangan akar Islamnya melalui pendidikan Barat, negara Islam (khilafah) itu adalah suatu keharusan (lihat Ismail Ral Faruqi dan Louis Lamya Al Faruqi, Atlas Budaya Islam hal 191-192).
Persoalan yang lebih esensial bagi kita adalah pembahasan mengenai hakikat dari suatu negara itu sendiri sehingga kita bisa memahami bagaimana suatu negara itu ditegakkan oleh masyarakatnya dan bagaimana suatu negara itu bisa roboh atau dirobohkan. Syaikh Taqiyddin An Nabhani dalam kitab Muqaddimah Dustur (hal 5-11) menulis bahwa munculnya suatu negara baru itu lantaran munculnya pemikiran-pemikiran baru yang menjadi landasan berdirinya negara baru tersebut dan terjadinya pergantian kekuasaan di dalamnya lantaran pergantian pemikiran. Ini bisa terjadi karena pemikiran baru yang telah mewujud menjadi pemahaman (mafahim) --setelah difahami kebenaran makna yang dikandungnya--itu akan mempengaruhi tingkah laku manusia dan menjadikan tingkah lakunya itu berjalan sesuai dengan mafahim yang dianutnya itu. Mafahim baru itu pun menjadikan pandangannya tentang hidup pun berubah, dan pandangannya tentang kemaslahatan-kemaslahatan yang selalu dicarinya pun berubah. Sementara itu kekuasaan itu pada hakikatnya adalah pemiliharaan atas kemaslahatan-kemaslahatan dan kontrol atas jalannya pemiliharaan tersebut. Oleh karena itu , pandangan hidup merupakan asas tegaknya negara dan asas adanya kekuasaan. Karena pandangan hidup itu sendiri dibentuk oleh pemikiran tertentu tentang hidup maka pemikiran tertentu itulah pada hakikatnya yang menjadi asas daulah dan dia pulalah sebenarnya asas kekuasaan. Karena pemikiran tertentu itu mewakili kumpulan pemahaman (mafahim), tolok ukur (maqayis), dan keyakinan (qona'ah) yang diadopsi oleh masyarakat maka pemahaman, tolok ukur, dan keyakinan itulah yang dapat dianggap sebagai asas berdirinya negara dan kekuasaan hanyalah memelihara urusan masyarakat dan mengontrol agar pengaturan pemenuhan kemaslahatan manusia itu sesuai dengan kumpulan pemahaman, tolok ukur, dan keyakinan tersebut. Dari sinilah negara dapat didefinisikan sebagai badan eksekutif yang melaksanakan apa yang dikehendaki oleh kumpulan pemahaman, tolok ukur, dan keyakinan yang telah diterima oleh masyarakat.
Kumpulan pemahaman,tolok ukur, dan keyakinan itu ada yang dibangun dari pemikiran yang paling mendasar (fikr asasi) dan ada juga yang dibangun dari pemikiran yang bukan pemikiran paling mendasar. Jika kumpulan pemahaman, tolok ukur, dan keyakinan yang menjadi asas tegaknya negara itu dibangun dari pemikiran yang paling mendasar (fikr asasi), maka negara yang ditegakkan akan kokoh bangunannya, kuat pilarnya, dan stabil strukturnya. Sebab,negara tersebut disandarkan di atas pemikiran yang paling mendasar, yang tidak ada yang lebih dasar lagi, yaitu aqidah aqliyah. Dengan demikian negara yang kuat adalah yang ditegakkan di atas landasan aqidah aqliyah. Namun apabila suatu negara tidak ditegakkan di atas aqidah aqliyah, negara tersebut akan mudah dirobohkan dan dihancurkan lembaganya serta mudah didongkel kekuasaannya. Jadi negara yang kuat adalah negara yang dibangun di atas dasar aqidah aqliyah yang menghasilkan pemahaman, tolok ukur, dan keyakinan yang kuat pula. Sebagai contoh, adalah negara Islam yang dibangun di masa Rasulullah saw. (abad ke 7 Masehi) yang telah terbukti mampu eksis selama 13 abad. Negara itu baru runtuh pada tahun 1924 (abad 20 Masehi) setelah kaum muslimin mengalami kemunduruan pemikiran terhadap kumpulan pemahaman (mafahim), tolok ukur halal haram, dan keyakinan-keyakinan (qona'ah) Islam.
Pilihan bagi kaum muslimin yang tinggal di berbagai negara dengan basis nasionalisme (nation state) dengan berbagai system dan bentuk negaranya: tetap mengadopsi system negara bangsa (nation state) yang sangat lemah ataukah berusaha kembali bersatu dalam satu payung negara khilafah yang bersifat supranasional dan berbasis aqidah aqliyah Islamiyah? Tentu bagi yang mau berpikir jernih tidak ada pilihan kecuali memilih pilihan kedua. Dan secara syar'i, setiap muslim terikat untuk pernah berbaiat dalam pemilihan khalifah sebagaimana yang disebut dalam hadits Nabi Muhammad saw. (lihat Ismail R Al Faruqi dan Louis Lamya Al Faruqi, Atlas Budaya Islam, hal 192). Artinya, setiap muslim punya kewajiban moral dan agama untuk senantiasa hidup di dalam naungan negara khilafah. Diriwayatkan bahwa oleh Nafi' bahwa Umar bin Khaththab r.a. berkata bahwa dia mendengan Rasulullah saw. bersabda:
"Siapa saja yang melepas tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya ia akan berjumpa dengan Allah di hari kiyamat tanpa memiliki hujjah. Dan siapa saja yang mati sedangkan di pundaknya tidak ada baiat, maka matinya seperti mati jahiliyah".
Hadits tersebut tidak menunjukkan hukum bahwa setiap muslim harus melakukan prosesi memberikan baiat kepada khalifah (bai'at In'iqad), tapi dalam diri seorang muslim harus ada selalu ada bai'at (baiat tho'ah) kepada seorang khalifah (lihat An Nabhani, Al Khilafah, terj. Hal 3). Artinya, setiap saat dalam kehidupan seorang muslim, semestinya ia menjadi warga negara Khilafah Islamiyah.
Negara bagian Dari Syariat Islam
Kalau kita lihat buku fiqih yang sederhana semacam Fiqih Islam karya Sulaiman Rasyid (ditulis tahun 1938 dan diterbitkan pertama kali tahun 1954) kita akan menjumpai di bagian akhir buku adanya bab Al Khilafah setelah pembahasan bab Toharoh, bab Sholat, bab Jenazah, bab Zakat, bab Puasa, bab Haji dan Umrah, bab Muamalat, bab pembagian Harta Pusaka (Faraidl), bab Nikah, bab sanksi hukum pidana (Jinayat dan Hudud), bab Peperangan (jihad), bab Makanan dan Sembelihan, dan bab Pengadilan. Sekalipun di sana sini banyak kekuarangan dalam pembahasan tentang khilafah pada buku tersebut, namun maksud pencantuman bab al khilafah tersebut di bagian akhir buku tersebut, sebagaimana dikatakan sendiri oleh penulisnya adalah untuk sekadar menggambarkan bahwa seluruh hukum Islam yang ada pada bab-bab sebelumnya itu akan berjalan lancar dan baik dalam masyarakat andaikata negara itu berdasar kepada hukum-hukum Islam. Masalah khilafah sebagai suatu susunan pemerintahan yang diatur menurut ajaran islam, sebagaimana yang dibawa dan dijalankan Rasulullah saw. dan kemudian dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin (Khalifah Abu Bakar As Shiddiq r.a., Umar bin Khaththab r.a., Utsman bin Affan r.a., dan Ali bin Abi Thalib r.a.), kata Rasyid (hal 494), tak pernah lepas dari beberapa hukum, terutama mengenai penyusunan negara, kepala negara, pemilihan khalifah, hak memilih dan dipilih, dan sebagainya.
Kalau kita lihat kitab Fiqh yang lebih besar seperti Al Umm karya Imam As Syafii r.a. (hidup di masa Khalifah Harun Ar Rasyid dan AL Makmun dari khilafah dinasti Abbasiyyiah, wafat pada tahun 204H/820M, lihat Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi islam Jilid 4 hal 326), sekalipun tidak membahas secara khusus bab Khilafah/Imamah, namun uraian rinci tentang berbagai fiqh muamalat, jinayat, jihad, penaklukan dan perdamaian, jizyah, penanganan kafir dzimmi (disamping uraian berbagai bidang syariat Islam) tak bias melepaskan penyebutan Imam (khalifah) sebagai subyek pelaksanaan hukum syariat Islam (lihat Imam As Syafii, Al-Umm, Kitab Induk, terj. Jilid 6 hal 190, 266, 269, 317, 324, ). Imam As Suyuthi malah secara khusus menulis tentang tarikh para khalifah dari masa Khulafaur Rasyidin ( Abu Bakar Shiddiq r.a., Umar bin Al Khaththab r.a., Utsman bin Affan r.a., dan Ali bin Abi Thalid r.a.), para khalifah di masa dinasti Umayyah (Muawiyah bin Abi sufyan r.a. s/d Marwan bin Muhammad), dan para khalifah di masa dinasti Abbassiyyah ( Abul Abbas As Saffah s/d Al Mutawakkil Alallah) yaitu bentangan kekuasaan negara khilafah dari diangkatnya khalifah pertama segera setelah wafatnya Rasulullah saw. pada tahun 10H/634M sampai dengan 903H dalam kitabnya yang terkenal Tarikhul Khulafa. Mouaffaq Bany Al Marjeh dalam kitabnya Shofwatu Rajulil Maridl/The Awakening of the Sickman (hal 467-469) melengkapinya dengan daftar para khalifah dinasti Utsmaniyah (dari Sultan Salim I yang berkuasa sejak tahun 1512M s/d Sultan Abdul Majid Khan II yang diusir Musthafa Kamal pada tanggal 2 Maret 1924 ).
Dengan demikian jelaslah bahwa sepanjang sejarah peradaban umat Islam , mereka tidak lepas dari satu kesatuan umat dan negara yakni umat islam dan negara Islam atau Khilafah Islamiyah. Umat ini mendapatkan pukulan dan goncangan besar dengan dikalahkan negaranya pada Perang Dunia I oleh pasukan Sekutu yang dipimpin oleh Inggris. Umat yang kini terpecah belah menjadi lebih dari 50 negara itu masih memiliki dokumen sejarah dan dokumen hukum (berupa Al Quran, As Sunnah, dan Kitab-kitab Fiqih) yang masih utuh yang menjadi bekal untuk menyusun doktrin peradabannya kembali. Oleh karena itu, di era kebangkitan umat ini wajarlah kalau umat Islam memiliki potensi untuk mengembalikan syariatnya dan negaranya.
Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya Nizhomul Hukmi fil Islam (disempurnakan oleh Abdul Qodim Zallum) menguraikan secara jelas tentang hukum-hukum syariat islam dalam politik ketatanegaraan. Menurut An Nabhani (terj.hal 9) negara islam adalah seorang khalifah yang menerapkan hukum syara’. Negara islam merupakan kekuatan politik praktis yang berfungsi untuk menerapkan dan memberlakukan hukum-hukum Islam, serta mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia sebagai sebuah risalah dengan dakwah dan jihad. Negara Islam inilah satu-satnya metode yang dijadikan Islam untuk menerapkan system dan hukum-hukumnya secara menyeluruh dalam kehidupan masyarakat. Tanpa adanya negara, eksistensi islam sebagai sebuah mabda (ideologi) serta system kehidupan akan pudar; yang ada hanyalah Islam sebagai upacara ritual serta sifat-sifat akhlak semata.
Negara Islam hanya berdiri di atas asas aqidah islam. Menurut syari’at islam, dalam kondisi apapun aqidah Islam tidak boleh terlepas dari negara. Rasulullah saw. Waktu membangun negara Islam pertama kali adalah dengan menjadikan asas Lailahaillah Muhammad Rasulullah saw. sebagai asas negara dan pemerintahannya, sebagai asas kehidupan bagi kaum muslimin, dan sebagai ass dalam berhubungan dengan sesama manusia, asas untuk mencegah tindak kezaliman, serta asas menyelesaikan persengketaan yang terjadi di antara manusia. Menjaga keberlangsungan aqidah islam sebagai dasar negara merupakan fardlu atas kaum muslimin. Rasulullah saw. memerintahkan kepada kaum muslimin mengangkat senjata apabila tampak kekufuran yang nyata. Ketika Rasulullah saw. ditanya tentang mengangkat senjata terhadap pemerintahan yang zalim, beliau saw. menjawab:
«لاَ ،مَا أَقَامُوْا فِيْكُمْ الصَّلاَةَ»
“Jangan, selama mereka menegakkan sholat (hukum Islam)”.
Dalam pembaiatan khalifah, kaum muslimin juga tidak diperbolehkan merebut dari tangan ulil Amri (khalifah) kecuali kalau mereka menyaksikan kekufuran yang nyata. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ubadah bin As Shamit tentang baiat:
«وَ أَنْ لاَ نُنَازِعُ اْلأَمْرَ أَهْلَهُ، قَالَ: اِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ»
“Dan agar kami tidak merampas urusan (kekuasaan) dari yang berhak, Rasulullah saw. bersabda: Kecuali bila kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, sedangkan kalian memiliki bukti yang kuat di sisi Allah”.
Dengan Demikian tidak diperkenankan kaum muslimin memiliki negara dengan asas selain Islam, baik itu sekularisme, kapitalisme, demokrasi, sosialisem, komunisme, nasionalisme, atau paham apapun yang bukan merupakan aqidah aqliyah islamiyah.
Khalifah yang dibaiat kaum muslimin sebagai kepala negara, wajib menerapkan hukum syariat islam. Sebab syariatlah yang memiliki kedaulatan (As Siyadah Lis Syar’I). Syariat Islam yang merupakan pancaran aqidah Islam telah menetapkan bahwa penguasa wajib menerapkan hukum Allah SWT sebagai bukti ketaatan kepada Allah SWT yang telah memerintahkan hal itu dalam firman_Nya:
﴿فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ[
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan". (QS. An-Nisaa' [4]: 65)
Juga firman-Nya:
﴿وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَاأَنْزَلَ اللهُ إِلَيْكَ[
"Dan hendaklah kamu hukumi di antara mereka dengan Apa yang turunkan kepadamu. Dan janganlah kalian mengikuti kemauan mereka. Hati-hatilah terhadap mereka, agar mereka memalingkan kamu dari sebagian yang telah diturunkan Allah kepadamu." (QS. Al-Maa-idah [5]: 49)
Dan rakyat yang mayoritas kaum muslimin yang memiliki mafahim Islam, maqayis Islam, dan qana’ah Islam dituntut untuk ridlo dengan undang-undang penerapan hukum Allah SWT. Sikap ridlo terhadap seluruh konsitusi dan perundangan syariah ini diajarkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
]وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا[
"Dan apa saja yang dibawa oleh Rasul lakukanlah, se­dangkan yang dilarangnya maka tinggalkanlah." (QS. Al-hasyr [59]: 7)
Juga firman_nya:
]كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِم ْوَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِينًا[
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min,apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab [33]: 36)
Dengan keimanan kepada aqidah dan syariah islam, masyarakat muslim akan membaiat seorang khalifah untuk mengatur urusan mereka dengan menjalankan pemerintahan berdasarkan Al Quran dan As Sunnah dan mereka dan khalifah diberi wewenang untuk mengundangkan hukum syariah yang dibangun berdasarkan kedua sumber utama hukum syariah itu. Khalifah tidak berhak mengadopsi hukum lain selain dari syariah yang diwariskan oleh rasulullah saw. Adopsi khalifah ini juga sekaligus mengatasi perbedaan dia antara para hakim dan penguasa di bawahnya dalam mengambil kesimpulan hukum dalam rangka menyelesaikan perkara di antara warga negara baik muslim maupun non muslim.
Negara Islam Bukan Theokrasi dan Bukan Otoriter
Ada kesalah pahaman sementara orang bahwa kalau kita menegakkan negara Islam itu berarti negara theokrasi, padahal theokrasilah yang menyebabkan kezaliman di Eropa pada abad pertengahan, bukankah kolusi antara para uskup dan kardinal dengan para kaisar yang telah menimbulkan berbagai penderitaan dan kesengsaraan bangsa Eropa? Menggeneralisir Islam dengan agama Nasrani adalah sebuah kesalahan. Nasrani adalah agama yang mengatur masalah ritual dan moral semata, masalah keakhiratan. Islam mengatur masalah dunia akhirat, masalah ibadat dan akhlak, juga masalah muamalah, social, hukum peradilan, ekonomi dan ketatanegaraan.
Negara theokrasi adalah sebuah konsep yang mengaku bahwa kedaulatan berasal dari Tuhan, tapi hukum dibuat-buat oleh para agamawan dimana para kaisar dan raja berlindung pada kekuasaan mereka. Islam menjelaskan hukum untuk seluruh umat manusia, dan hukum berlaku bagi seluruh umat manusia. Adapun kekuasaan menjalankan hukum adalah hak seluruh umat yang diserahkan kepada khalifah yang akan menerapkan hukum kepada seluruh umat. Dalam hal ini, khalifah bisa dan wajib dikoreksi oleh umat dengan tolok ukur (maqayis) yang jelas, yakni halal haram. Oleh karena itu, khalifah tidak punya hak prerogratif untuk melanggar hukum Allah dan tidak punya secuail pun hak untuk membuat hukum sendiri atas nama Allah SWT. Khalifah hanyalah penguasa pelaksana hukum yang bisa pula mengalami kesalahan yang oleh karena itu bisa dikoreksi bahkan bisa dipecat dari jabatannya. Wajarlah suatu ketika Khalifah Umar menetapkan kebijakan agar para wanita memperingan mahar yang mereka minta, bahkan yang sudah mendapatkan mahar banyak dia minta kembalikan. Kebijakan ini diprotes seorang wanita tua yang beragumen dengan firman Allah SWT:
]وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَءَاتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلاَ تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا[
“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?” (QS. An-Nisaa’ [4]: 20)
Nabi Muhammad saw. sebagai pun sebagai kepala negara yang melaksanakan hukum Allah SWT, pernah ditegur dengan halus oleh Allah SWT tatkala mengambil kebijakan yang tidak lebih baik (khilaful aula), sebagaimana firman Allah:
]مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فِي الْأَرْضِ تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللهُ يُرِيدُ الْآخِرَةَ وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ[
“Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Anfaal [8]: 67).
Ada pertanyaan, bukankah dengan system khilafah yang kekuasaan berkumpul di tangan seseorang memberikan peluang besar terjadinya kediktatoran? Jawabannya tentu kembali kepada sejauhmana penerimaan dan penguasaan umat islam terhadap mafahim, maqyis, dan qonaah islam. Jika umat islam dalam kondisi memiliki pemikiran dan kesadaran yang tinggi terhadap hukum syariah, maka umat akan dengan meudah mengontrol khalifah dengan pengetahuan, pemahaman, standa, dan keyakinan yang mereka miliki. Sebaliknya, jika terjadi kemunduran yang sangat, kediktatoran yang bukan merupakan jiwa pemerintahan Islam pasti akan terjadi. Nabi Muhammad saw. selalu berpesan kepada pejabat yang dikirmnya ke daerah dengan:
«بَشِّرُوْا وَلاَ تُنَفِّرُوْا وَيَسِّرُواْ وَلاَتُعَسِّرُوْا»
“Berilah mereka kabar gembira, dan janganlah kalian hardik, dan mudahkanlah mereka janganlah kalian persulit”.
Bahkan dalam kemunduran yang sangat, umat islam telah rela melepaskan penguasa, bukan hanya berubah dari pemelihara menjadi otoriter, dari pemerintahan Islam kepada pemerintahan sekuler seperti yang terjadi pada tahun 1924 di pusat Khilafah Utsmaniyah, Istambul.
Oleh karena itu, sudah saatnya, seluruh pejuang penegak syariah menyingsingkn lengan bajunya untuk memberitahukan kepada seluruh kaum muslimin tentang konsepsi negara islam (khilafah ala minhajin nubuwwah) yang merupakan negara asli milik kaum muslimin yang kini telah hilang dan mesti ditemukan lagi. Wallahu muwaffiq ila aqwamit thariq!
20.53.00 Diposting oleh sl_santoproduct 0