TOP NEWS

Mitra Dakwah

18 September 2011

BERBAHAYA! Memilih Sikap Moderat (Jalan Tengah)



Istilah jalan tengah (kompromi/sikap moderat) tidak muncul di tengah-tegah kaum muslimin kecuali pada masa modern kini. Jalan tengah adalah istilah asing yang bersumber dari Barat dengan ideologi Kapitalismenya. Sebab, ideologi inilah yang telah membangun aqidahnya atas dasar jalan tengah, sebagai suatu kompromi yang lahir akibat pertarungan berdarah antara gereja dan para raja yang mengikutinya di satu pihak, dengan para pemikir dan filosof Barat di pihak lain. Pihak pertama memandang agama Kristen adalah agama yang layak untuk mengatur seluruh urusan kehidupan. Sementara pihak kedua memandang bahwa agama Kristen tidak layak untuk itu --karena Kristen dianggap penyebab kehinaan dan ketertinggalan-- dan bahwa akal manusialah yang mampu menciptakan peraturan yang layak untuk mengatur segala urusan kehidupan.
Setelah pertarungan yang sengit antara dua pihak ini, mereka menyepakati suatu jalan tengah, yaitu mengakui eksistensi agama sebagai interaksi manusia dengan Tuhan, tetapi agama tidak diberi hak turut campur dalam kehidupan dan harus menyerahkan pengaturan urusan kehidupan kepada manusia. Kemudian mereka menjadikan ide pemisahan agama dari kehidupan sebagai aqidah bagi ideologi nereka, yang darinya terlahir sistem Kapitalisme. Atas dasar sistem ini mereka mampu meraih kebangkitan lalu menyebarluaskan sistem ini kepada manusia lain melalui jalan penjajahan (imperialisme).
Pengaruh prinsip jalan tengah yang menjadi landasan aqidah mereka itu, akhirnya menjadi ciri menonjol dalam setiap hukum atau perilaku penganut ideologi Kapitalisme, terutama dalam masalah-masalah politik. Dalam masalah Palestina, misalnya, kaum muslimin menuntut agar seluruh bumi Palestina menjadi negeri mereka. Pada saat yang sama, pihak Yahudi mengklaim Palestina sebagai tanah yang dijanjikan Allah bagi mereka, sehingga semuanya adalah milik mereka. Negara-negara Barat yang kapitalis pun kemudian menyodorkan suatu solusi pada tahun 1948, yaitu rencana pembagian tanah untuk mendirikan dua negara di Palestina, satu untuk Arab, dan satu lagi untuk Yahudi. Pemecahan jalan tengah ini nampak jelas dalam berbagai masalah internasional yang dikendalikan oleh negara-negara Kapitalis, seperti masalah Kashmir, Cyprus, Bosnia, dan sebagainya.
Prinsip tersebut selanjutnya menjadikan kebijakan mereka selalu bertumpu pada kedustaan dan peng-hindaran diri dari masalah. Tidak ditujukan untuk memperoleh semua hak yang seharusnya dimiliki, tetapi hanya sebagian hak saja, entah sedikit atau banyak. Jadi prinsip tersebut tidak ditujukan untuk meraih semua hak, tetapi untuk mencapai suatu kompromi dari kedua belah pihak. Ini bukan karena prinsip itu benar, melainkan karena mempertimbangkan kondisi setiap pihak dari segi kekuatan dan kelemahannya. Pihak yang kuat mengambil bagian yang diinginkannya jika dia mampu, sedang pihak yang lemah melepaskan bagian yang tidak mampu didapatkannya (prinsip take and give).
Alih-alih mengkritik dan menerangkan kekeliruan atau kepalsuan ide jalan tengah, sebagian kaum muslimin malah mengambilnya dan menyerukan bahwa ide tersebut ada dalam ajaran Islam, dan bahkan Islam itu dikatakan berdasarkan prinsip jalan tengah. Dikatakan bahwa Islam itu terletak di antara spiritualisme dan materialisme, antara individualisme dan kolektivisme, antara realistis dan idealis, antara ketetapan dan perubahan. Islam katanya tidak mengenal sikap berlebih-lebihan dan sikap lalai, tidak melampaui batas juga tidak kurang dari batas.
Untuk membuktikan pendapat ini, mereka melakukan pengkajian terhadap segala suatu fakta yang ada. Mereka menyimpulkan bahwa segala sesuatu mempunyai dua ujung dan titik tengah. Titik tengah adalah daerah yang aman, sementara kedua ujung selalu terancam bahaya dan kerusakan. Titik tengah adalah pusat kekuatan serta daerah kesetaraan dan keseimbangan bagi dua ujung. Selama titik tengah atau jalan tengah memiliki keistimewaan-keistimewaan ini, maka tak heran jika prinsip jalan tengah senantiasa nampak dalam setiap segi ajaran Islam. Jadi, Islam adalah pertengahan antara keyakinan dan peribadatan, pertengahan antara hukum dan akhlaq.
Setelah menganalogikan secara akliah hukum-hukum Islam dengan fakta benda-benda yang ada, mereka mencari bukti lain dalam nash-nash syara’. Mereka mengalahkan nash-nash syara’ tersebut, lalu menundukkannya di bawah pemahaman baru mereka agar bisa cocok dengan pendapat mereka itu. Mereka dapatkan firman Allah SWT :
وَكَذلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا…
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.”
(QS Al Baqarah : 143)
Mengenai ayat tersebut, mereka berkata bahwa kedudukan pertengahan umat Islam diambil dari metode (manhaj) dan peraturan hidup (nizham) umat yang bersifat tengah-tengah. Di dalamnya tak ada sikap berlebih-lebihan ala Yahudi, dan tidak ada sikap meremehkan ala Nashara. Mereka mengatakan bahwa kata “wasath” artinya adalah “adil”. Dan “adil” --menurut sangkaan mereka-- adalah pertengahan antara dua ujung yang saling bertentangan. Dengan demikian mereka mengartikan “adil” dalam pengertian “perdamaian” (shulhu), demi untuk mendukung prinsip jalan tengah.
Padahal makna yang sahih untuk ayat itu adalah, bahwa umat Islam itu merupakan umat yang adil. Sementara keadilan (‘adaalah), termasuk salah satu syarat seorang saksi dalam Islam. Jadi maksudnya, umat Islam ini nanti akan menjadi saksi yang adil bagi umat-umat lain (pada Hari Kiamat), bahwa umat Islam telah menyampaikan risalah Islam kepada mereka. Meskipun ayat ini berbentuk kalimat berita (ikhbar), tetapi mengandung tuntutan (thalab) dari Allah SWT kepada umat Islam agar menyampaikan Islam kepada umat-umat lain. Jika umat Islam tidak mengerjakan tugas ini, mereka akan berdosa. Dengan demikian, umat Islam umat Islam akan menjadi hujjah (sebagai saksi yang adil) bagi umat-umat lain. Hal ini sama halnya dengan Rasulullah SAW, yang nanti akan menjadi hujjah atas umat Islam bahwa beliau telah menyampaikan risalah Islam kepada mereka. Allah SWT berfirman:

لِيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ شَهِيْدًا عَلَيْكُمْ

“...supaya Rasul itu menjadi saksi atas diri kalian.”
(QS Al Hajj : 78)
Ayat di atas menerangkan bahwa Rasulullah SAW akan menjadi hujjah atas umat Islam (di Hari Kiamat nanti), bahwa beliau telah menyampaikan risalah Islam kepada mereka. Dan Rasulullah SAW juga telah memerintahkan umat Islam untuk menyampaikan risalah Islam kepada umat yang lain. Rasulullah SAW bersabda :

أَلاَ فَلْيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ

“Perhatikanlah! Hendaklah orang yang menyaksikan (hadir) menyampaikan kepada orang yang tidak hadir.”
Mereka berdalil juga dengan firman Allah SWT :

وَالَّذِيْنَ إِذَا أَنْفَقُوْا لَمْ يُسْرِفُوْا وَلَمْ يَقْتُرُوْا وَكَانَ بَيْنَ ذلِكَ قَوَامًا

“Dan (hamba-hamba Allah yang Maha Pengasih adalah) orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS Al Furqaan : 67)
Berdasarkan ayat ini, mereka menetapkan bahwa dalam infaq (pembelanjaan harta) itu ada dua ujung; yaitu berlebih-lebihan (israf) dan kikir (taqtir/bakhil). Mereka menetapkan adanya jalan tengah dalam infaq, yaitu pertengahan (qawam). Dan ini, menurut pandangan mereka, adalah dalil mengenai jalan tengah dalam berinfaq.
Mereka tidak menyadari bahwa makna ayat itu adalah, bahwa terdapat 3 (tiga) macam infaq, yaitu berlebih-lebihan, kikir, dan pertengahan. Berlebih-lebihan (israf/tabdziir) adalah infaq dalam perkara yang haram, baik itu sedikit maupun banyak. Jika seseorang membelanjakan satu dirham untuk membeli khamr, atau untuk berjudi, atau untuk menyuap, maka ini adalah infaq yang berlebih-lebihan (israf), yang hukumnya adalah haram. Adapun kikir (taqtir/bakhil) adalah mencegah diri untuk berinfaq pada perkara yang wajib. Jadi kalau misalkan seseorang tidak membayar satu dirham dari zakat mal yang wajib dikeluarkannya, atau tidak menafkahi orang-orang yang wajib dia beri nafkah, maka ini adalah kikir, yang hukumnya haram. Adapun infaq yang pertengahan (qawam), adalah membelanjakan harta sesuai tuntunan hukum-hukum syara’, baik banyak maupun sedikit. Memuliakan seorang tamu dengan menyuguhkan seekor kambing, atau seekor ayam, atau seekor unta, adalah infaq yang pertengahan yang hukumnya halal.
Hal ini karena Allah SWT berfiman :

بَيْنَ ذلِكَ

“...di antara yang demikian itu...”
Ayat di atas tujuannya untuk menunjukkan adanya 3 (tiga) macam infaq, yaitu berlebih-lebihan, kikir, dan pertengahan. Satu macam dari ketiga macam infaq itu adalah perkara yang dituntut oleh syara’, yaitu yang pertengahan (qawam). Allah tidak mengatakan “baina dzalikuma” (di antara keduanya) untuk menunjukkan pertengahan adalah di antara dua hal yang berbeda.
Maka dari itu, dalam Islam tak ada yang namanya kompromi atau jalan tengah. Karena Allah SWT yang menciptakan manusia dan mengetahui hakikatnya dengan suatu pengetahuan yang tidak mungkin dijangkau oleh manusia itu sendiri adalah satu-satunya pihak yang mampu mengatur kehidupan manusia secara cermat dan teliti, yang tidak akan mungkin dicapai oleh seorang pun. Hukum-hukum Allah datang dengan batas-batas yang tegas, tak ada kesan sedikit pun bahwa di dalamnya ada kompromi atau jalan tangah. Sebab, memang tak ada kompromi atau jalan tengah dalam nash-nash dan hukum-hukum Islam. Bahkan sebaliknya, berbagai nash dan hukum Islam itu sangatlah teliti, terang, dan jelas batas-batasnya, sehingga Allah menamakannya ”hudud” (batas-batas), dikarenakan ketelitian dan kecermatannya. Allah SWT berfirman :

وَتِلْكَ حُدُوْدُ اللهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَ

“Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (QS Al Baqarah : 230)
Allah SWT berfirman pula :

وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُوْدَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيْهَا

“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkan-nya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya.” (QS An Nisaa` : 14)
Adakah kompromi atau jalan tengah dalam sabda Rasulullah SAW kepada pamannya Abu Thalib, ketika kaum Quraisy menawarkan kepada beliau pangkat, harta, dan kehormatan agar beliau mau meninggalkan Islam :
وَاللهِ يَا عَمِّ لَوْ وَضَعُوا الشَّمْسَ فِيْ يَمِيْنِيْ وَالْقَمَرَ فِيْ يَسَارِيْ عَلَى أَنْ أَتْرُكَ هذَا اْلأَمْرَ حَتّى يُظْهِرَهُ اللهُ أَوْ أَهْلِكُ فَيْهِ مَا تَرَكْتُهُ
“Demi Allah! Wahai Paman! Andaikata mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan perkara ini (Islam), niscaya aku tak akan meninggalkannya sampai Allah memenangkan perkara itu atau aku hancur karenanya!”
Adakah pula jalan tengah dalam sabda Rasulullah kepada qabilah Banu ‘Amir bin Sha’sha’ah, ketika mereka meminta kekuasaan sepeninggal beliau sebagai kompensasi dari pertolongan yang mereka berikan kepada beliau :

أَْلأَمْرُ اللهِ يَضَعُهُ حَيْثُ يَشَاءُ

“Perkara ini (kekuasaan) adalah milik Allah, yang akan diberikan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.”
Jelaslah, sikap kompromi atau jalan tengah adalah ide yang sangat asing dalam pandangan Islam, yang hendak disusupkan ke dalam ajaran Islam oleh orang-orang Barat dan agen-agennya dari kalangan kaum muslimin. Caranya ialah dengan memasarkan ide tersebut kepada kaum muslimin atas nama keadilan dan toleransi, dengan maksud untuk menyimpangkan kaum muslimin dari ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum Islam yang telah jelas batas-batasnya.

0 komentar: