TOP NEWS

Mitra Dakwah

20 Februari 2012

Kriminalitas Meningkat Cermin Kegagalan Sekularisme


Carut Marut Bentuk kriminalitas

Kriminalitas di negara ini kian meningkat. Realita ini menjadikan negara yang mengadopsi sistem hukum sekularistik ini amburadul, tak karuan, parah dan mencemaskan. Kriminalitas itu sendiri terjadi diberbagai tempat di seluruh wilayah Indonesia. Dan, boleh dibilang tiada ada hari tanpa kriminalitas. Setiap hari kita bisa saksikan berbagai pemberitaan di media massa, baik cetak maupun elektronik mengupas liputan mengenai berbagai kriminalitas. Beragam kriminalitas kerap muncul dan menghiasi berita media. Sebenarnya, disamping berita yang terliput, namun masih banyak lagi kriminalitas lain yang lepas dari liputan media. Banyak fator pertimbangan ketidak-munculan laporan kriminalitas yang seharusnya mengemuka. Pertama, mungkin korban mendiamkan karena ada teror atau tekanan, Kedua, mungkin karena malu di-opini publik-kan, Ketiga, mungkin karena ketidakpercayaan masyarakat dengan aparat penegak hukum,dll.
Paradigma kriminalitas itu cenderung berubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang berkembang. Adapun fenomena kriminalitas yang sedang berjangkit itu adalah sebagai berikut :
  1. Pencurian
  2. perampokan
  3. Pembunuhan
  4. Penganiayaan
  5. Perjudian
  6. Pornografi
  7. Pemerkosaan dan Pencabulan
  8. Prostitusi
  9. Premanisme, dll.

Memantau Pelaksanaan Hukum di Indonesia

Pelaksanaan hukum di Indonesia memiliiki banyak kelemahan atau kekurangan. Paling tidak ada tiga faktor signifikan yang melatarbelakangi kelemahan tersebut, yakni : Pertama Produk Hukum, Kedua Penegak Hukum, dan ketiga Sanksi (Hukuman).
1. Produk Hukum
Pada dasarnya hukum yang berlaku sekarang ini adalah produk hukum penjajah (Belanda) yang semula diperuntukkan bagi orang-orang Eropa (Belanda). Namun, belakangan konsep hukum tersebut bergeser, karena hukum positif Belanda diperuntukkan juga untuk jajahannya (Indonesia). Pada dasarnya, setiap penjajah memiliki motif dan alasan tertentu, mengapa ia harus menjajah. Setidaknya ada tiga alasan fundamental yang mendorong penjajah (belanda) menguasai negeri jajahannya (Indonesia).
Pertama, Misi ekonomi (Mission of Ecomonic). Selama lebih kurang tiga setengah abad, Belanda telah menguras habis harta kekayaan negeri jajahannya (Indonesia) guna membangun negaranya. Berbagai kemajuan yang dicapai Belanda saat ini merupakan andil dari pengerukan masif negeri jajahannya. Salah satu contohnya, biaya membangun kota Amsterdam (Belanda) diperoleh dari hasil menjajah.
Kedua, Misi agama (Mission of Religion). Selama menjajah, Belanda melancarkan program kristenisasi di negeri jajahannya (Indonesia). Hanya saja, misi agama ini tidak bisa dilaksanakan secara optimal, karena mengakar dan kentalnya semangat beragama (Islam) dari penduduk pribumi. Ditambah lagi, peran ulama yang berjibaku menghempang lajunya program kristenisasi tersebut. Boleh dibilang, misi ini relatif kurang berhasil. Namun, di propinsi tertentu pemeluk agama kristen relatif berhasil, seperti di Indonesia bagian Timur.
Ketiga, Misi Penegakkan Hukum (Mision of Law Supremation). Kendati negara Indonesia telah bebas dan merdeka dari penjajahan kolonial Belanda, namun bukan berarti bangsa Indonesia bisa melepaskan atribut-atribut milik penjajah (Belanda). Sebab, dalam bidang-bidang tertentu kita masih mengadopsi perangkat peraturannya, termasuk hukum. Selama menjajah, Belanda -Negara yang dijuluki negeri kincir angin- telah menerapkan hukumnya terhadap negeri jajahannya termasuk Indonesia.
Secara kwalitatif, hukum positif (khususnya produk penjajah /belanda) memiliki banyak kelemahan. Kita bisa kaji berbagai produk hukum penjajah (belanda) tersebut. Dalam hukum belanda yang kita adobsi sekarang mengenal apa yang disebut hukum publik dan hukum privat. Hukum publik adalah hukum atau undang-undang yang mengatur persoalan publik, misalnya : KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), KUHD, (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang), Hukum Tatanegara (HTN), Hukum Administrasi Negara (HAN) dan lain-lain. Sedang hukum (undang-undang) privat adalah hukum yang mengatur persoalan individu dengan individu, misalnya KUHPerdata.
Produk-produk hukum tersebut adalah hasil pikiran manusia (Belanda). Produk hukum tersebut lahir melalui rekayasa pikiran penjajah Belanda tentu saja sebagai manusia memiliki keterbatasan. Semua produk hukum yang dihasilkan tersebut, masih memiliki kekurangan dan keterbatasan. Kendati para pemikir dan akademisi hukum sadar dan mafhum kelemahan hukum tersebut, mereka tetap saja enggan untuk membuang atau melepaskan hukum-hukum tersebut. Ironinya, mereka malah sibuk menyiapkan sebuah lembaga (badan) dengan nama Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) yang tugas dan fungsinya adalah untuk menyempurnakan produk-produk hukum buatan belanda tersebut dan memformulasikan hukum positif Belanda tersebut dengan kondisi dan karakteristik masyarakat Indonesia.
Secara kwantitatif ternyata hukum positif tersebut banyak jumlahnya, namun tidak berlaku efektif. Kendati secara kwantitatif terlalu banyak, namun para pemikir hukum dan akademisi hukum sekuler merasa harus melengkapi hukum (undang-undang) tersebut dengan perangkat hukum (undang-undang) tambahan. Apa yang menyebabkan pertambahan ini ? Ternyata yang melatar-belakanginya karena hukum (undang-undang) masih mengandung kelemahan-kelemahan, sehingga dipandang perlu merumuskan perangkat peraturan pelaksananya. Suatu hal yang menarik dari pergulatan pemikiran para pemikir dan akademisi hukum sekuler yang loyal dan tergila-gila dengan hukum buatan manusia tersebut adalah bahwa dengan tersusunnya perangkat hukum pendukung, bertujuan untuk menjamin kepastian dan keadilan hukum. Pertanyaannya, benarkah itu ? Jawabnya, tentu tidak. Sebab, kendati perundang-undangan dan perangkat pendukung telah dilahirkan, namun kerapkali terjadi pelanggaran hukum. Misalnya, tentang agraria, kehutanan, kelautan, ketenaga-kerjaan, lingkungan dan sebagainya.

2. Penegak Hukum

Pelaksana hukum dalam tatanan hukum positif di Indoensia terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman. Kendati, dalam ketentuan perundangan lembaga-lembaga ini terpisah, namun masih memiliki jalur koordinasi keatasnya, hingga ke presiden. Lembaga-lembaga tersebut tidak ada yang bebas dan independen, karena garis koordinasi bersifat vertikal bertanggung jawab kepada kepala negara.
(1). Kepolisian. Kendati jajaran kepolisian kian berbenah dengan semboyan profesionalisme dan melayani kepentingan masyarakat, namun dalam prakteknya kerap terjadi distorsi kebijakan. Masyarakat sering mempertanyakan eksistensi pihak kepolisian ini. Pertama aspek kemaksimalan tugas, Kedua Sensitifitas problema/kriminlaitas masyarakat, Ketiga, Kejujuran dan Kenetralan Tugas. Badan (lembaga) yang seharusnya menjadi pengayom masyarakat ternyata sekarang menjadi lembaga angker dan menakutkan. Sebagai pengayom masyarakat, agaknya pihak kepolisian belum melaksanakan tugas sebagaimana mestinya. Lembaga ini kerapkali menuai kritikan dari masyarakat dari tahun ke tahun.
(2). Kejaksaan. Badan (lembaga) ini juga bukan tidak luput menuai kritikan. Cukup banyak kasus-kasus besar yang menghebohkan di-peti es-kan tanpa alasan yang jelas. Berbagai rentetan kasus yang menjadi perhatian publik (masyarakat) masih banyak yang belum dilimpahkan ke Pengadilan. Tampaknya badan (lembaga) ini terlalu banyak Pekerjaan Rumah (PR) yang belum terselesaikan.
Kelemahan itu, bukan hanya dari sisi upaya pihak kejaksaan untuk mengajukan pelaku kejahatan tersebut ke Pengadilan, namun pelaku kejahatan yang sudah divonis pengadilan pun melengkapi ketidak-berdayaan hukum dan perangkat pendukungnya. Misalnya, Eddi Tansil –Adik Hendra Rahardja- pada tahun 1992 sempat menghebohkan negara dan masyarakat dengan staregi dan taktik katebelecenya mengelabui pejabat tinggi ketika itu -Sudomo dan JB. Sumarlin- dan mengkorupsi uang negara 1,3 trilyun. Pada masa itu, nilai uang tersebut sungguh sangat besar dan mencengangkan. Ia sudah dipidana dengan hukuman penjara selama 20 tahun dan sempat beberapa saat mendekam dipenjara, namun dengan menggunakan berbagai taktik licik ala mafia ia berhasil kabur dari penjara. Kini, ia bebas berkeliaran kemana saja ia mau sambil menikmati uang yang telah ditilepnya itu.
Memang, lembaga ini memiliki banyak masalah yang juga meresahkan masyarakat. Jaksa selaku Penuntut Umum telah juga ternoda, karena ulah sebagian oknum jaksa nakal dan silau dengan materi. Kenakalan jaksa tdak hanya dalam kasus-kasus yang telah dilimpahkan di Pengadilan. Namun, kenakalan itu juga di luar Pengadilan. Misalnya, kasus-kasus yang masih dalam tahap penyelidikan/penyidikan. Di tingkat penyelidikan atau penyidikan kerap terjadi penyalahgunaan wewenang. Tertuduh/tersangka atau keluarganya bisa saja melobi jaksa yang menyelidik/menyidik kasusnya meminta kasusnya di-peti es-kan atau istilah formalnya SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyelidikan).
(3). Kehakiman. Departemen kehakiman hingga kini belum mampu memberantas kenakalan para hakim di seluruh negeri ini. Betapa tidak, sebenarnya munculnya cibiran tentang mafia peradilan lebih ditujukan kepada para hakim. Kita tahu, wajah hukum negeri ini telah dicoreng dengan banyaknya kasus-kasus yang terjadi karena praktik vonis yang tanpa dasar atau cenderung menurut selera para hakim. Kenakalan hakim tersebut ternyata meresahkan salah seorang hakim Bismar Siregar, SH. Dalam berbagai kesempatan, seminar, diskusi dan lain-lain, ia selalu mengimbau agar para hakim hendaknya memutuskan perkara berdasarkan hukum dan keadilan. Kendati, seorang Bismar berkali-kali bersuara keras terhadap koleganya, namun tetap saja kenakalan yang berbalut kejahatan dunia peradilan masih menghiasi wajah hukum negeri ini.
Sebenarnya, praktik mafia peradilan tidak hanya ditujukan kepada dua lembaga tersebut, tapi harusnya perlu juga mencermati benar dan terukur pekerjaan Pengacara. Sekarang ini, tugas pengacara banyak mengalami perubahan fungsi. Semula mendampingi klien dan membelanya, baik di dalam maupun di luar Pengadilan (litigasi dan non litigasi). Kini, sudah bergeser menjadi calo perkara dan pelobi kasus. Meski tidak semua, namun kebanyakan pengacara menangani perkara karena pertimbangan financial, sekalipun mereka harus mematikan hati nurani. Menariknya, ukuran keberhasilan (menang) suatu kasus bukan karena kemampuan analisis cerdas pengacara dalam mengotopsi dan menggali dasar hukum kasus yang sedang ditangani, melainkan berdasarkan kalkulasi seberapa banyak uang klien yang akan disuguhi kepada hakim yang menangani suatu kasus.
3. Sanksi (Hukuman).
a. Masa hukuman pelaku tindak pidana
Sanksi hukuman yang terdapat dalam berbagai hukum (peraturan perundangan) yang berlaku sangat ringan sekali. Hukuman pelanggar berbagai tindak pidana sebagaimana yang dituang dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) memuat sanksi yang sangat rendah. Bisa disebut hingga kini KUHP belum banyak berubah sejak penjajahan belanda hingga sekarang. Dengan konsepsi KUHP ini, mungkinkah hukum bisa membuat jera dan menyadarkan masyarakat ?.
b. Peraturan tidak membuat sanksi tidak tegas
Dalam berbagai kesempatan kita menyaksikan pemerintah beserta aparat penegak hukum telah membuat peraturan di sekitar masyarakat. Kendati peraturan telah dibuat berikut dengan hukuman/sanksinya, namun tetap saja peraturan tersebut diabaikan atau ekstrimnya diacuhkan. Mengapa ? Karena, pemerintah dan aparat hukum tidak secara sungguh-sungguh memiliki good will untuk menertibkan masyarakat dalam menciptakan keteraturan hidup. Artinya, setelah peraturan dibuat, kontrol terhadap pelanggar masih bisa ditolerir. Walhasil, peraturan yang dipajang hanya sebatas himbauan moral, tanpa bisa menyentuh kepedulian masyarakat. Misalnya, di pasar perbelanjaan sering kita temukan papan pengumuman kepada para pedagang, “Jangan buang sampah sembarangan, buanglah pada tempat yang tersedia”. Kendati, pengumunan telah dibuat, namun para pedagang masih terus saja melanggarnya, seakan tidak memperdulikan adanya pengumuman.

Mencermati Kelemahan Mendasar Hukum Positif Barat (Eropa)

Harus diakui, kendati Indonesia telah merdeka lebih dari setengah abad, namun negara ini masih belum mempunyai undang-undang yang berisi hukum nasional produk sendiri. Undang-undang yang ada masih berupa peninggalan Belanda dengan beberapa tambal sulam produk lembaga legislatif. Ironi, Indonesia yang sudah 3,5 abad dijajah Belanda dan telah pula memaksakan hukumnya diberlakukan, ternyata sepeninggalnya Belanda dari bumi nusantara ini, kita masih mau mengambil sistem hukum Belanda tersebut. Seharusnya, Indonesia yang mayoritas pemeluk agama Islam ini mengambil hukum Islam, bukan sebaliknya mentambal-sulamkan sistem hukum Belanda yang secara faktual terbukti buruk. Selanjutnya, sadar dengan kelemahan dan keterbatasan kemampuannya dalam membuat hukum dan perundang-undangan, seharusnya para pemikir dan akademisi hukum melakukan upaya mandiri dengan menggali dari khazanah Islam , yakni syariat islam yang bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah.
Bandingkan hukum Islam dengan hukum positif tersebut. Pelaksanaan syariat Islam bertujuan menjamin keselamatan atas lima hal, yakni : agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Namun, hal tersebut tidak belaku dalam hukum positif. Dengan dalih menjamin hak asasi manusia, hukum pidana positif mempunyai penilaian lain atas beberapa hal. Didalam hukum pidana positif, sekalipun seorang isteri berbuat zina, tetapi suami tidak mengadukan perbuatan isterinya maka perzinahan dianggap tidak pernah ada. Demikian pula dengan laki-laki dan perempuan yang belum sah menikah. Bila mereka berzina secara sukarela tanpa pemerkosaan, maka perzinahan dipandang tidak pernah terjadi. Ahmad Azhar Basyir menilai bahwa latar-belakang hukum pidana positif itulah yang kemudian mengakibatkan banyak hubungan perzinahan dalam masyarakat. Akibat yang lebih luas protitusi pun dilegalkan.
Diakui atau tidak, realita merajalelanya kriminalitas menunjukkan bahwa eksistensi hukum barat telah gagal memberikan kepastian hukum dan keadilan dalam masyarakat, dan telah gagal pula memanusiakan manusia. Hukum positif merupakan produk kehendak rakyat tanpa terikat dengan agama. Apa saja yang dikehendaki rakyat, jika didukung oleh suara mayoritas, maka dilegalkan menjadi sebuah hukum. Hukum dengan sendirinya berubah-ubah sesuai dengan keinginan suara mayoritas rakyat. Jika arus suara mayoritas menghendaki suatu hukum tertentu, maka suara minoritas termarginalkan. Walhasil, dengan prinsip-prinsip ini banyak dijumpai hukum (undang-undang) yang bertentangan dengan norma agama dan etika. Di Barat, hak hidup bebas dan mandiri sudah diberlakukan terhadap pria dan wanita yang telah berumur 17 tahun. Mereka ini bebas berbuat sesuka hatinya. Tidak boleh siapa pun melarangnya termasuk orang tuanya. Aturan mereka memperbolehkan sepasang insan untuk hidup bersama dalam satu atap. Di Barat, seorang anak diberi pendidikan dengan hak dan kewajibannya. Seorang anak tidak boleh dipukul orang tuanya. Jika dipukul maka si anak bisa melapor ke polisi, karena tindakan orangtuanya dinilai abuse (pelecehan). Tentu paradigma ini sangat bertentangan dengan Islam. Kita tahu, jika seorang anak sudah berumur 10 tidak sholat, maka orang tuanya harus memukulnya agar ia sholat. Jadi, dengan konsepsi hukum kufur tersebut, bagaimana mungkin orangtua bisa mengajarkan anak agar memahami agama (Islam) dengan benar? Di Barat, kehidupan homoseksual dan lesbian dipandang sah-sah saja, asal suka sama suka dan tidak menganggu privasi orang lain. Bahkan jika mereka mau mereka dapat meminta pendeta untuk mengawini mereka di gereja. Menariknya, bahkan pemerintah membantu memfasilitasi penyelenggaraan pesta kaum homo dan lesbian sedunia. Sydney dan Paris merupakan dua kota besar dunia yang terkenal sarang homo dan lesbian. Setiap tahun mereka berkumpul memeriahkan pestanya dengan nama Mardi Grass.

Masih Haruskah Hukum Positif Itu Kita Pertahankan ?

Berbagai bentuk kriminalitas tersebut sangat meresahkan masyarakat yang cinta dengan ketenangan, ketentraman, kepastian hukum dan keadilan. Di satu sisi, kriminalitas terus menerus meningkat dalam berbagai bentuk. Sisi lain, aparat penegak hukum tidak sungguh-sungguh dan maksimal memberantas segala bentuk kejahatan. Walhasil, masyarakat bersikap apatis dengan pelaksanaan hukum di negara ini. Masyarakat sudah tidak percaya lagi dengan sistem hukum yang ada. Masyarakat menilai hukum yang ada tidak mampu menjadi terminal akhir untuk memperoleh keadilan. Lantas, apa yang mesti kita perbuat ? Haruskah kita pertahankan hukum positif yang secara faktual telah gagal memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat ? atau, adakah solusi lain yang efektif mengatasi kriminalitas tersebut ?
Hemat saya, kita harus merubah secara mendasar dan totalitas sistem hukum yang ada. Kita harus cerabut dan campakkan hukum positif itu, karena secara empiris terbukti telah gagal. Kita harus melihat kembali khazanah Islam (hukum Islam), karena secara empiris pula terbukti telah memberikan keamanan, ketenangan, dan keadilan, baik Muslim mapun Non Muslim.
Mengapa harus hukum Islam ? karena hanya dengan hukum Islam seluruh permasalahan kriminalitas bisa diatasi. Didalam hukum Islam terjamin ketaatan dan kebaikan. Didalam hukum Islam memuat sanksi yang tegas dan mengikat pelaku kejahatan. Bagi pelanggar hukum Islam akan dikenakan sanksi yang tegas tanpa pandang bulu. Essensi sanksi dalam hukum Islam bertujuan menghukum dan mengadili pelaku kriminalitas. Sanksi merupakan keharusan. Tanpa sanksi, hukum diibaratkan macan ompong. Tanpa sanksi pula hukum tidak bermakna apa-apa. Dan, itu artinya hukum hanya akan menjadi pajangan atau hiasan saja.

Hukum Islam Berpihak Kepada Kebenaran dan Keadilan

Praktik peradilan hukum positif mengalami banyak penyelewengan dan pelanggaran hukum. Penyelewengan itu justru dilakukan aparat penegak hukum (Jaksa dan Hakim) yang bermain mata dengan pihak-pihak tertentu yang menginginkan kasusnya dimenangkan atau diringankan. Praktik jual beli putusan pengadilan berjangkit di mana-mana, sehingga kerapkali kita dengar sindiran sinis “mafia peradilan”. Tentu berbeda halnya dengan hukum Islam. Hukum Islam ditegakkan kepada siapa saja tanpa pandang bulu, pejabat, politikus, pengusaha, aparat penegak hukum, dan sebagainya. Dalam Islam, rasa taqwa kepada Allah melahirkan penegak hukum yang jujur dan adil. Allah Swt berfirman :
﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا﴾
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”. (QS. An-Nisa’ [4]: 135).
Menurut Bismar Siregar, prinsip hukum Islam tersebut tidak dikenal dalam sistem hukum sekuler (Barat). Peradilan hukum Islam yang berlaku secara adil dan memuaskan para pihak. Suatu saat diajukan seorang pencuri wanita kepada Rasulullah untuk diadili dan dijatuhi hukuman/had potong tangan. Usamah ibn Zaid memohon keringan hukuman kepada Rasulullah, namun sikapnya ini ditanggapi Rasul seraya bersabda, “Apakah kamu mengajukan keringanan terhadap salah satu hukuman dari Allah ? Demi Allah, kalau saja Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti akan ku potong tangannya”. (HR. Bukhari dan Muslim). Perkara lain, Khalifah Usman ibn Affan memerintahkan eksekusi hukuman qishash terhadap Ubaidillah ibn Umar (anak kandung mantan Khalifah Umar ibn Khattab) karena terbukti bersalah membunuh. Hanya saja, eksekusi gagal dilaksanakan karena pihak korban memaafkannya, sebagai gantinya ia dikenakan pembayaran diyat (denda). Juga perkara, Khalifah (Kepala Negara Negara Khilafah Islam) Ali bin Abi Thalib r.a yang berselisih dengan seorang Yahudi soal baju besi. Dalam proses persidangan Kholifah Ali r.a tidak bisa meyakinkan hakim karena saksi yang diajukan Ali adalah anak dan pembantunya. Akhirnya hakim memutuskan Yahudi tidak bersalah.
Asas Penerapan Hukum Islam
Islam sebagai agama dan ideologi, dilaksanakan secara utuh dengan tigas asas penerapan hukum Islam, pertama ketaqwaan individu yang mendorongnya untuk terikat kepada syariat Islam, kedua pengawasan masyarakat, dan ketiga Negara Islam yang menerapkan syariat Islam secara utuh. Apabila salah satu asas ini telah runtuh, maka penerapan syariat Islam dan hukum-hukumnya akan mengalami penyimpangan, dan akibatnya Islam sebagai agama dan ideologi (mabda) akan hilang dari bumi Allah ini.

Allah Memerintahkan Manusia Agar Melaksanakan Hukum Islam

Hukum positif yang merupakan hasil rekayasa pikiran manusia sangat paradoksal dengan hukum Islam. DR. Taher Azhari mengemukakan bahwa substansi hukum positif (barat) berbeda dengan hukum islam. Hukum Islam dilandasi oleh aqidah dan akhlak. Sedangkan hukum barat mengabaikan keduanya. Norma agama dan susila dimata mereka di luar norma hukum. Pada masa penjajahan belanda, Van Vollenhoven (sarjana belanda) mengeliminasi hukum Islam dan mengkedepankan hukum adat. Ia sengaja menerima dan mengenalkan pemberlakuan hukum adat dengan tujuan mencampakkan hukum Islam. Dengan kemampuan rekayasa berpikir piciknya, ia membuat rumusan bahwa hukum adat lebih tinggi dari pada hukum Islam. Pendapatnya segera mendapat kritikan dan protes dari para pemikir Islam yang concern dengan hukum Islam semisal Prof. Hazairin, SH. Dengan tajam, Hazairin menanggapi teori Van Vollenhoven sebagai teori iblis. Hazairin mengatakan bahwa pendapat Vollenhaven tanpa dasar dan tendensius. Taher Azhari menilai bahwa sarjana barat di masa lalu telah salah paham memahami hukum Islam. Alasannya, sarjana barat hanya mengkaji hukum Islam dengan parameter barat. Mereka tidak memberikan peran pada hukum yang bersumber dari agama.
Islam adalah agama sempurna. Tidak ada sistem hukum di muka bumi ini sesempurna Islam. Allah Swt berfirman :
﴿اَلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلاِسْلاَمَ دِ يْنًا﴾
“Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al-Maidah [5]: 3).
Hukum Islam sangat lengkap dan mampu menjawab persoalan hukum dan keadilan. Menurut Syeik Abdurrahman al-maliki dalam kitabnya Nidzam al-Uqubat bahwa sanksi didalam hukum Islam terdiri 4 macam, yakni : Had, Jinayat, Ta’zir dan Mukhalafah. Sanksi (uqubat) memiliki fungsi pencegah dan penebus. Syeik Muhammad Muhammad Ismail dalam kitabnya Fikr al-Islam menjelaskan bahwa sanksi berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Pencegah maksudnya dengan sanksi itu orang takut berbuat jahat, karena menyadari hukumannya berat. Penebus maksudnya orang berdosa di dunia harus mendapatkan hukuman agar ia terlepas siksa di akhirat.
Didalam al-Qur’an, Allah memerintahkan kita untuk berhukum dengannya dan mencampakkan sistem hukum buatan manusia :
]فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ[
“Maka, putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan (al-Qur’an) dan janganlah kamu mengikuti hawa hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran (hukum Allah) yang telah datang kepadamu” (QS. Al-Maidah [5]: 48).
﴿أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوْ قِنُوْنَ﴾
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan hukum siapakah yang lebih baik dari pada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (QS. Al-Maidah [5]: 50). Wallahu a’lam bi al-shawab.
Makalah ini disampaikan pada acara “Diskusi Publik Jakarta”, pada tanggal 1 September 2002. Kegiatan ini merupakan bagian kampanye penegakan syariat Islam “Selamatkan Indonesia Dengan Syariah”.

0 komentar: