TOP NEWS

Mitra Dakwah

12 Juni 2014

Pilpres 2014 dan Masa Depan Ummat


Sesungguhnya jabatan (kekuasaan) itu adalah amanah. Sesungguhnya jabatan (kekuasaan) itu pada Hari Kiamat akan berubah menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya dengan benar dan menunaikan apa saja yang menjadi kewajibannya (HR Muslim, Ahmad, Ibn Abi Syaibah dan al-Hakim).


Pilpres, Berebut Kehinaan
Pemilihan Presiden (Pilpres) Indonesia yang akan dilaksanakan pada 9 Juli 2014 nanti digadang-gadang masyarakat untuk bisa membawa perubahan dan bisa membuat Indonesia menjadi lebih baik. Namun banyak pakar politik yang justru berpikir sebaliknya, Pileg dan Pilpres 2014 tidak akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Salah satunya, seperti yang diungkapkan Pakar Ilmu Pemerintahan, yang pernah menjadi dosen Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Andi Azikin, “Jadi saya melihat mustahil harapan rakyat dapat dipenuhi karena dua syarat untuk perubahan kepada yang lebih baik itu tidak dipenuhi,” ungkapnya seperti diberitakan Tabloid Media Umat Edisi 119, Jum’at (2-16 Januari). Syarat tersebut, menurut Andi meliputi individu calon pemimpin dan sistem pemerintahan yang diberlakukan.
            Apa yang disampaikan pak Andi Azikin tersebut memang benar mengingat Persoalan Indonesia bukan sekadar persoalan rezim tetapi persoalan sistem juga. Selama para calon presiden tidak menyentuh perubahan sistem, dipastikan 100% tidak akan membawa perubahan yang mendasar. Calon presiden yang ada di Indonesia tidak ada yang memiliki integritas akhlak yang sudah teruji dan tidak memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan secara fundamental. Calon presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto dicalonkan hanya karena popularitas dan uang saja. Ketika salah satunya menang dalam pilpres dan menjadi Presiden, dipastikan akan mengemban sistem kufur demokrasi dan melalaikan kewajiban yang Allah Swt bebankan kepada seorang pemimpin. Walhasil, jabatan presiden tersebut akan berbuah kehinaan dan penyesalan ketika menghadap Allah Swt.

Koalisi Sekadar Memburu Kekuasaan dan Jabatan
Untuk meraih posisi kepemimpinan, Jokowi yang diusung PDIP dan Prabowo yang diusung Gerindra masing-masing membentuk tim sukses dan berkoalisi dengan partai-partai lainnya. Koalisi pun dijalin dengan siapa saja asalkan lebih berpeluang menang. Jokowi-Jk didukung partai PDIP, Nasdem, PKB, Hanura, dan PKPI sedangkan Prabowo-Hatta didukung partai Gerindra, PAN, PPP, PKS, PBB, Golkar, dan Demokrat. Berdasarkan koalisi yang terjalin, Prabowo-Hatta diuntungkan oleh lebih besar mesin partai politik. Hal ini sebagaimana diungkap Kepala Riset Indonesia Research Centre (IRC), Yunita Mandolang di Jakarta, Jumat (6/6), total prosentase suara partai di belakang mereka 48,93% dan setelah Demokrat bergabung menjadi sebesar 59,12%. Sementara koalisi partai di belakang Jokowi hanya 40,88%. Namun, dari segi popularitas, berdasarkan riset LSI, banyak masyarakat yang lebih memilih Jokowi-Jk. Hasil riset terbaru Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang dilakukan pada bulan mei 2014 menyebutkan, publik yang mendukung pasangan capres-cawapres, Joko Widodo-Jusuf Kala mencapai 35,42%, sementara pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa 22,75%. Massa mengambang atau belum menentukan pilihan terhadap pasangan capres tertentu mencapai 41,80%.
Koalisi dalam pilpres pada dasarnya memiliki dua tujuan utama: Pertama, menggalang dukungan parpol untuk pencalonan dan pemenangan dalam ajang Pilpres. Kedua, memburu kekuasaan dan jabatan. Soal visi, gagasan dan ideologi tak lagi jadi bahan pertimbangan dalam berkoalisi. Hal itu juga ditunjukkan oleh parpol Islam atau yang berbasis massa Islam. Jika sebelum Pileg mereka gencar menyeru masyarakat untuk tidak golput agar pemerinahan tidak dikuasai oleh orang kafir dan orang-orang sekular, setelah Pileg mereka justru berkoalisi dengan parpol sekuler yang dihuni orang-orang kafir dan orang-orang sekular untuk memenangkan partai sekular tersebut. Mereka turut andil dalam memperkokoh sekularisme di Indonesia dengan bergabungnya mereka pada partai sekular, sebab para kandidat yang mereka usung baik Jokowi-Jk maupun Prabowo-Hatta sama-sama sekular. Visi dan misi yang mereka usung sama sekali tidak ada unsur penerapan Syariat Islam.
Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Prof .Dr. Ryaas Rasyid tidak melihat Prabowo-Hatta akan menerapkan syariah Islam. Seperti dilansir Tabloid Media Umat Edisi 129, Jum’at 6-19 Juni, Menurut Ryaas Rasyid, dirinya tidak bisa membayangkan dalam pemerintahan Prabowo-Hatta syariah akan diterapkan. Kalau satu hukum syariah saja diterapkan dalam bentuk UU, itu kontroversinya akan besar. Karena syariah itu benturannya dengan konstitusi. Prabowo sendiri tidak pernah menampilkan dirinya akan memimpin semacam negara Islam atau sistem yang islami. Begitu juga parpol Islam dan berbasis massa Islam pendukung Prabowo tidak pernah mengatakan akan menerapkan syariah Islam. Menteri-menteri dari parpol Islam dan berbasis massa Islam juga ketika sidang kabinet tidak menyinggung masalah itu. Tentu hal ini pun berlaku bagi koalisi pasangan Jokowi-Jk.
            Koalisi parpol Islam dan parpol sekuler di Indonesia sudah lama terjadi. Fakta ini tidak terjadi belakangan ini saja, katakanlah tahun 1999 ketika ada koalisi yang disebut Poros Tengah, yang dimotori PAN (partai sekuler) dan PPP (partai Islam) guna menggolkan Gus Dur sebagai Presiden RI ke-4. Bahkan sejak tahun 1945, koalisi seperti ini sudah pernah terjadi. Masyumi sebagai parpol Islam telah menjalin koalisi dengan berbagai parpol sekuler. Pada tahun 1945-1946 (Kabinet Syahrir I), terjadi koalisi Masyumi – Parkindo (Partai Kristen Indonesia). Lalu, pada tahun 1950-1951 (Kabinet Natsir) terjadi koalisi Masyumi – PSI (Partai Sosialis Indonesia), tahun 1951-1952 (Kabinet Sukiman) dan tahun 1952-1953 (Kabinet Wilopo) terjadi koalisi Masyumi – PNI. Pada masa kini, koalisi parpol Islam dan parpol sekuler juga sering terjadi, seperti dalam berbagai Pilkada. Di Pilkada Gubernur Sulawesi Selatan tahun 2007, PKS berkoalisi dengan Partai Golkar, bahkan di Papua PKS berkoalisi dengan PDS (partai Kristen).
Motif koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler tidak lagi didasarkan pada kesamaan ideologi namun lebih pada aspek pragmatisme yang justru menghilangkan identitas mereka sebagai partai Islam. Parpol Islam saling tolong menolong dengan parpol sekuler dalam perjuangan menerapkan, mempertahankan, dan menyebarkan sistem sekuler. Menurut K.H. M. Shiddiq al-Jawi, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler merupakan keharaman. Hal ini dikarenakan aktivitas koalisi yang mereka bentuk mengharuskan beberapa aktivitas yang diharamkan, antara lain: tolong menolong dalam segala kebatilan (al-bathil), dosa (al-ma-atsim), dan hal-hal yang diharamkan (al-maharim), yakni memilih presiden dan wakil presiden yang akan menjalankan UU Kufur, menyepakati berbagai syarat-syarat yang haram seperti kesepakatan untuk mendukung produk UU yang bertentangan dengan Islam, memperkokoh rezim sekuler yang seharusnya di deligitimasi sesegera mungkin, dan menyebabkan aktivis partai Islam menimbulkan kecenderungan (sikap rela/setuju) pada partai sekuler yang bathil. Dalil Larangan (QS Huud [11] : 113).
Koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler akan memperlama umur kebatilan, yaitu sistem demokasi-sekuler sekarang. Selain itu koalisi akan mengantarkan pada jabatan-jabatan sekuler jika partai tersebut menang dalam pemilihan. Koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler merupakan suatu perjanjian (mu’ahadah) atau kesepakatan (mu’aaqadah; ittifaaq) yang terlarang dalam Islam, karena tujuannya untuk saling memperkuat (at-ta’adhud) atau menolong (at-tasaa’ud), bertentangan dengan ajaran Islam. Perjanjian atau kesepakatan semacam ini haram hukumnya, sesuai sabda Nabi SAW :
لا حِلْفَ فِي الإِسْلام

“Tidak boleh ada perjanjian [yang batil] dalam Islam.” (HR Bukhari no 2130; Muslim no 4593; Abu Dawud no 2536; Ahmad no 13475).

Tetap Dalam Cengkerangan Asing
Siapapun yang menang nanti, kepentingan masyarakat luas lagi-lagi akan selalu terpinggirkan. Hal ini terjadi karena koalisi dalam sistem demokrasi merupakan koalisi transaksional,bagi-bagi jatah keuntungan, sehingga  kepentingan pribadi, partai, dan kepentingan orang-orang dibalik layar (dalang) yang akan lebih didahulukan. Dalang ini bisa dalang dalam negeri, seperti para konglomerat atau partai politik, dan bisa juga dalang luar negeri, seperti perusahaan asing (multinational corporation) atau pemerintahan yang berkuasa/adidaya.
Capres dan cawapres terpilih diramalkan sulit lepas dari kendali tangan-tangan besar yang tak terlihat (invisible hand). Para kandidat dimanfaatkan oleh para dalang di balik layar untuk kepentingan mereka. Caranya dengan mengucurkan bantuan pendanaan, pencitraan, dsb. Cawapres Hatta Rajasa dan cawapres Jusuf Kalla dikabarkan dikuasai mafia migas dan konglomerat hitam. Di belakang cawapres Hatta Rajasa ditengarai ada rombongan cukong di bawah pengusaha besar yang menunggu jatah proyek, salah satunya jembatan Selat Sunda. Begitu pula cawapres Jusuf Kalla yang diduga kuat disokong konglomerasi yang sangat pro pasar bebas, dan konsorsium mafia migas. Cawapres pendamping Prabowo dan Jokowi ‘memuja’ pasar bebas dan nepotisme terhadap kepentingan grup mereka.
Cengkeraman pemerintahan Asing terhadap pemerintahan Indonesia pun sangat jelas terlihat. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, Indonesia berporos ke Blok Timur yaitu Cina dan Moskow. Presiden Soeharto menjadi boneka Amerika, melakukan proses legalisasi berbagai kepentingan Amerika. Maka muncullah sejumlah UU, termasuk terbitnya UU Penanaman Modal Asing tahun 1967. Kemudian disusul terbitnya UU Pertambangan, UU Kehutanan, UU Perdagangan, dll. Presiden BJ Habibie pun tak lepas dari cengkeraman Amerika, tak berkutik ketika harus melepaskan Timor Timur dari Indonesia. Berikutnya Presiden Abdurrahman Wahid pun diarahkan untuk memberikan kebebasan seluas-luasnya bagi semua pihak di Indonesia. Termasuk mencabut Tap MPR tentang larangan terhadap partai komunis. Sementara Presiden Megawati Soekarnoputri, pada masa pemerintahannya berbagai kebijakan pro neoliberalisme bermunculan. Ia pun begitu dekat dengan para konglomerat hitam. Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pun diberi potongan sampai dibebaskan. Berbagai perundang-undangan pro asing juga muncul pada masa rezimnya. Pada rezim Susilo Bambang Yudhoyono, bahkan berani menyebut Amerika adalah negara kedua baginya. Pada masa ini, Amerika panen. Soalnya, kadernya itu tersebar luas baik di birokrasi, parlemen maupun di tengah masyarakat. Liberalisasi besar-besaran terjadi. Perusahaan-perusahaan asing di masa Soeharto seperti Freeport dan Chevron serta Exxon mendapat angin lagi di masa rezim ini. Demikian juga perusahaan multinasional lainnya di bidang pertambangan dan energi.
Hegemoni asing membuat calon presiden negeri ini pun tidak berdaya. Ketidakberdayaan para pemimpin ini terjadi karena dunia Islam telah diintervensi pemikirannya dengan pemikiran Barat. Mereka harus mendapat restu dan dukungan Asing untuk bisa mendapatkan posisi presiden dengan nyaman. Begitu PDIP yakin memenangi pemilu legislatif, Jokowi langsung roadshow ke mana-mana. Ia bersama Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, bertemu dengan Dubes Amerika Serikat, Robert O Blake, Senin (14/4/14). Pertemuan itu juga dihadiri beberapa perwakilan duta besar negara yang lain, termasuk Inggris dan Vatikan. Dihadapan media, Jokowi sendiri mengakui pertemuan tersebut untuk mendapatkan dukungan.
Setali tiga uang dengan Jokowi, Prabowo juga sebenarnya jauh-jauh hari sudah kasak-kusuk ke Amerika. Memang tidak secara langsung, tapi melalui adiknya, pengusaha Hashim Djojohadikusumo. Kepada redaksi Trans TV, Hashim mengaku sempat mondar-mandir delapan kali ke Amerika. "Saya sudah delapan kali ke Washington, sudah bertemu senator, kongres, saya ketemu-macam-macam. banyak yang senang dengan Pak Prabowo di Washington," kata Hashim seperti dikutip detik.com (12/2/14).

Pendidikan Politik Islam dan Masa Depan Ummat
Selama masyarakat tidak mau disadarkan dengan pekimiran Islam, para politisi parpol tetap menjerumuskan masyarakat kepada demokrasi-sekular, dan pemerintah tidak melepaskan diri dari cengkeraman asing dan menerapkan syariat Islam, maka Indonesia tidak akan menjadi lebih baik. Masyarakat sudah terlalu sering mendapatkan janji kosong dalam pemilu. Setiap partai politik pun telah mengusung perubahan  namun perubahan itu tidak didapatkan oleh masyarakat. Harapan masyarakat untuk perubahan Indonesia yang lebih baik akan menjadi mimpi di siang bolong. Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Sunny Tanuwidjaja, pada tahun 2012 mengatakan kepercayaan masyarakat terhadap partai politik saat ini sangat rendah. Sunny menyatakan hanya 22,4 persen responden menilai partai politik memiliki kinerja yang baik, sisanya menilai sebaliknya. Banyak politisi memilih dan mempromosikan orang untuk menjadi pemimpin karena orang itu banyak uang dan orang itu banyak memberikan bantuan yang besar, bukan karena dia memenuhi kriteria sebagai pemimpin.
Pengamat Politik dari Universitas Indonesia Andrinof Chaniago mendesak agar adanya perbaikan tingkah laku para politisi dan menjalankan fungsinya dengan benar. Rakyat melihat kebijakan penguasa yang berasal dari partai-partai tidak berpihak pada rakyat bahkan sangat menyengsarakan rakyat. Cara-cara kampanye partai politik (parpol) yang bertarung dalam pemilu 2014 sungguh menyedihkan. Seruan-seruan kampanye jarang ada yang berbobot, yang penting massa tertarik dan senang. Kampanye hitam dan kampanye negative yang berdasarkan etika perpolitikan demokrasi pun tidak dibenarkan tetapi pada kenyataannya kampanye seperti itu menjadi lazim dalam sistem demokrasi yang mengedepankan kebebasan. Hal ini semakin mendorong ketidakpercayaan publik pada politik dan menganggap perpolitikan adalah sesuatu yang kotor.
Politik yang dimaksud adalah politik sebagai “struggle for power” perlombaan meraih kekuasaan. Politik dalam bingkai demokrasi adalah jalan (thoriqoh) untuk meraih kekuasaan  bagi yang kuat dan berpengaruh secara modal dan kekuasaan. Kekuasaan sebagai konsepsi politik telah menyeruak dan mengisi setiap benak umat manusia. Konsepsi politik seperti ini muncul sejak adanya ide pemisahan agama dengan negara (sekulerisme), dan para penganutnya didominasi oleh ide mengambil jalan tengah (kompromi). Barat (Eropa dan Amerika yang menjadi kiblat politik dunia saat ini) telah menyebarkan konsep-konsep politik berdasarkan sekulerisme dan kompromi. Konsepsi inilah yang dipelajari para pelajar ilmu politik di seluruh dunia. Barat juga melakukan penjajahan politik baik secara langsung maupun tidak langsung. Hasilnya, masyarakat hanya mengenal sistem dan konsepsi politik ala barat. Ketika berbicara tentang aktivitas politik, maka yang tergambar dalam benak masyarakat adalah menjadi anggota legislatif dan penguasa sehingga lahirlah para politisi yang semata-mata mencari kekuasaan, para politisi pragmatis.
Kekuasaan dan jabatan semestinya diberikan kepada orang yang layak, bukan kepada mereka yang berjasa kepada penguasa. Orang yang layak tentulah orang yang bertakwa, shalih serta punya kemampuan. Rasulullah Saw bersabda:

« إِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ » قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ « إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ »

Jika amanah disia-siakan, tunggulah saat-saat kehancuran.” Ada yang bertanya, “Bagaimana amanah itu disia-siakan?” Beliau bersabda, “Jika suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat-saat kehancuran.”(HR al-Bukhari dan Ahmad).

Perlu adanya perubahan mindset atau paradigma berfikir pada umat Islam tentang politik. Perlu adanya edukasi, dan pembinaan, untuk menyadarkan umat bahwa konsepsi politik yang diterapkan di dunia saat ini adalah konsepsi yang berasal dari ideologi kapitalis-sekuler yang membahayakan umat, dan menambah panjang deretan penderitaan umat. Umat perlu dipahamkan bahwa ada konsepsi politik lain yang hakiki yang bisa membawa umat pada kemajuan dan kemuliaan, yaitu konsepsi politik Islam. Politik dalam islam adalah pengaturan urusan umat yang meliputi pemeliharaan seluruh urusan umat di dalam negeri maupun luar negeri, baik pelakunya negara maupun umat. Dalam hal ini negara bertindak secara langsung mengatur dan melihara umat melalui penerapan hukum sedangkan umat bertindak sebagai pengawas dan pengoreksi pelaksanaan pengaturan tadi oleh negara.
Umat harus mendapatkan pendidikan politik islam, untuk mewujudkan politisi islam ideologis, ini merupakan metode yang harus dijalankan. Pendidikan ini harus dilakukan dengan menanamkan pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum islam serta mengikuti peristiwa politik. Kemudian, pemikiran dan hukum tersebut dikaitkan dengan berbagai peristiwa dan kejadian politik. Pembinaan politik terhadap umat inilah yang akan menghasilkan sejumlah besar politisi Islam Ideologis yang berperan serta dalam pemnyadaran umat sehingga umat bisa menuju jalan yang telah Allah Ridhoi. Ketika Umat menyerahkan kekuasaan kepada para politisi Islam Ideologis tentulah mereka akan membawa perubahan hakiki yang menjadi harapan dan cita-cita umat dan membuat Indonesia menjadi lebih baik. Karena politisi Islam Ideologis merupakan sosok politisi yang memperhatikan urusan rakyat, dan mengaturnya sesuai dengan kehendak Pemilik Alam Semesta, Allah Swt. Melakukan amar makruf nahi mungkar, sigap mengawal penguasa dalam menerapkan hukum-hukum-Nya. Menimbang segala permasalahan umat dengan sudut pandang Islam dan mengambil solusi atas segala persoalan dengan solusi Islam.
Tugas ini akan sempurna jika dijalankan di dalam sistem pemerintahan Islam. Itulah Sistem Khilafah yang dipimpin oleh seorang khalifah. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

«فَالإِمَامُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»

Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya (HR al-Bukhari).


Hadis ini sekaligus mengisyaratkan bahwa tugas politik, yaitu mengurus rakyat, menjadi tugas dan tanggung jawab khalifah. Dialah yang berkewajiban menerapkan syariah Islam secara total. Semua itu bisa terwujud jika kaum Muslim kembali kepada Islam dengan menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam naungan khilafah. Di sanalah izzah Islam akan tampak. 

0 komentar: