Pilpres 2014 dan Masa Depan Ummat
Sesungguhnya jabatan
(kekuasaan) itu adalah amanah. Sesungguhnya jabatan (kekuasaan) itu pada Hari
Kiamat akan berubah menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang
mengambilnya dengan benar dan menunaikan apa saja yang menjadi kewajibannya (HR Muslim, Ahmad, Ibn Abi
Syaibah dan al-Hakim).
Pilpres, Berebut
Kehinaan
Pemilihan Presiden (Pilpres) Indonesia
yang akan dilaksanakan pada 9 Juli 2014 nanti digadang-gadang masyarakat untuk bisa
membawa perubahan dan bisa membuat Indonesia menjadi lebih baik. Namun banyak
pakar politik yang justru berpikir sebaliknya, Pileg dan Pilpres 2014 tidak
akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Salah satunya, seperti yang
diungkapkan Pakar Ilmu Pemerintahan, yang pernah menjadi dosen Institut
Pemerintahan Dalam Negeri, Andi Azikin, “Jadi saya melihat mustahil harapan
rakyat dapat dipenuhi karena dua syarat untuk perubahan kepada yang lebih baik
itu tidak dipenuhi,” ungkapnya seperti diberitakan Tabloid Media Umat Edisi 119,
Jum’at (2-16 Januari). Syarat tersebut, menurut Andi meliputi individu calon
pemimpin dan sistem pemerintahan yang diberlakukan.
Apa yang disampaikan pak Andi Azikin
tersebut memang benar mengingat Persoalan Indonesia bukan sekadar persoalan
rezim tetapi persoalan sistem juga. Selama para calon presiden tidak menyentuh
perubahan sistem, dipastikan 100% tidak akan membawa perubahan yang mendasar. Calon
presiden yang ada di Indonesia tidak ada yang memiliki integritas akhlak yang
sudah teruji dan tidak memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan secara
fundamental. Calon presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto dicalonkan
hanya karena popularitas dan uang saja. Ketika salah satunya menang dalam
pilpres dan menjadi Presiden, dipastikan akan mengemban sistem kufur demokrasi
dan melalaikan kewajiban yang Allah Swt bebankan kepada seorang pemimpin. Walhasil,
jabatan presiden tersebut akan berbuah kehinaan dan penyesalan ketika menghadap
Allah Swt.
Koalisi Sekadar Memburu
Kekuasaan dan Jabatan
Untuk meraih posisi kepemimpinan, Jokowi
yang diusung PDIP dan Prabowo yang diusung Gerindra masing-masing membentuk tim
sukses dan berkoalisi dengan partai-partai lainnya. Koalisi pun dijalin dengan
siapa saja asalkan lebih berpeluang menang. Jokowi-Jk didukung partai PDIP,
Nasdem, PKB, Hanura, dan PKPI sedangkan Prabowo-Hatta didukung partai Gerindra,
PAN, PPP, PKS, PBB, Golkar, dan Demokrat. Berdasarkan koalisi yang terjalin, Prabowo-Hatta
diuntungkan oleh lebih besar mesin partai politik. Hal ini sebagaimana diungkap
Kepala Riset Indonesia Research Centre (IRC), Yunita Mandolang di Jakarta,
Jumat (6/6), total prosentase suara partai di belakang mereka 48,93% dan setelah
Demokrat bergabung menjadi sebesar 59,12%. Sementara koalisi partai di belakang
Jokowi hanya 40,88%. Namun, dari segi popularitas, berdasarkan riset LSI, banyak
masyarakat yang lebih memilih Jokowi-Jk. Hasil riset terbaru Lingkaran Survei
Indonesia (LSI) yang dilakukan pada bulan mei 2014 menyebutkan, publik yang
mendukung pasangan capres-cawapres, Joko Widodo-Jusuf Kala mencapai 35,42%,
sementara pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa 22,75%. Massa mengambang atau
belum menentukan pilihan terhadap pasangan capres tertentu mencapai 41,80%.
Koalisi dalam pilpres pada dasarnya
memiliki dua tujuan utama: Pertama, menggalang dukungan parpol untuk pencalonan
dan pemenangan dalam ajang Pilpres. Kedua, memburu kekuasaan dan jabatan. Soal
visi, gagasan dan ideologi tak lagi jadi bahan pertimbangan dalam berkoalisi.
Hal itu juga ditunjukkan oleh parpol Islam atau yang berbasis massa Islam. Jika
sebelum Pileg mereka gencar menyeru masyarakat untuk tidak golput agar
pemerinahan tidak dikuasai oleh orang kafir dan orang-orang sekular, setelah
Pileg mereka justru berkoalisi dengan parpol sekuler yang dihuni orang-orang
kafir dan orang-orang sekular untuk memenangkan partai sekular tersebut. Mereka
turut andil dalam memperkokoh sekularisme di Indonesia dengan bergabungnya
mereka pada partai sekular, sebab para kandidat yang mereka usung baik
Jokowi-Jk maupun Prabowo-Hatta sama-sama sekular. Visi dan misi yang mereka
usung sama sekali tidak ada unsur penerapan Syariat Islam.
Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres)
Prof .Dr. Ryaas Rasyid tidak melihat Prabowo-Hatta akan menerapkan syariah
Islam. Seperti dilansir Tabloid Media Umat Edisi 129, Jum’at 6-19 Juni, Menurut
Ryaas Rasyid, dirinya tidak bisa membayangkan dalam pemerintahan Prabowo-Hatta
syariah akan diterapkan. Kalau satu hukum syariah saja diterapkan dalam bentuk
UU, itu kontroversinya akan besar. Karena syariah itu benturannya dengan
konstitusi. Prabowo sendiri tidak pernah menampilkan dirinya akan memimpin
semacam negara Islam atau sistem yang islami. Begitu juga parpol Islam dan
berbasis massa Islam pendukung Prabowo tidak pernah mengatakan akan menerapkan
syariah Islam. Menteri-menteri dari parpol Islam dan berbasis massa Islam juga
ketika sidang kabinet tidak menyinggung masalah itu. Tentu hal ini pun berlaku
bagi koalisi pasangan Jokowi-Jk.
Koalisi parpol Islam dan parpol
sekuler di Indonesia sudah lama terjadi. Fakta ini tidak terjadi belakangan ini
saja, katakanlah tahun 1999 ketika ada koalisi yang disebut Poros Tengah, yang
dimotori PAN (partai sekuler) dan PPP (partai Islam) guna menggolkan Gus Dur
sebagai Presiden RI ke-4. Bahkan sejak tahun 1945, koalisi seperti ini sudah
pernah terjadi. Masyumi sebagai parpol Islam telah menjalin koalisi dengan
berbagai parpol sekuler. Pada tahun 1945-1946 (Kabinet Syahrir I), terjadi
koalisi Masyumi – Parkindo (Partai Kristen Indonesia). Lalu, pada tahun 1950-1951
(Kabinet Natsir) terjadi koalisi Masyumi – PSI (Partai Sosialis Indonesia),
tahun 1951-1952 (Kabinet Sukiman) dan tahun 1952-1953 (Kabinet Wilopo) terjadi
koalisi Masyumi – PNI. Pada masa kini, koalisi parpol Islam dan parpol sekuler
juga sering terjadi, seperti dalam berbagai Pilkada. Di Pilkada Gubernur
Sulawesi Selatan tahun 2007, PKS berkoalisi dengan Partai Golkar, bahkan di
Papua PKS berkoalisi dengan PDS (partai Kristen).
Motif koalisi parpol Islam dengan parpol
sekuler tidak lagi didasarkan pada kesamaan ideologi namun lebih pada aspek
pragmatisme yang justru menghilangkan identitas mereka sebagai partai Islam. Parpol
Islam saling tolong menolong dengan parpol sekuler dalam perjuangan menerapkan,
mempertahankan, dan menyebarkan sistem sekuler. Menurut K.H. M. Shiddiq
al-Jawi, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler merupakan keharaman. Hal
ini dikarenakan aktivitas koalisi yang mereka bentuk mengharuskan beberapa
aktivitas yang diharamkan, antara lain: tolong menolong dalam segala kebatilan
(al-bathil), dosa (al-ma-atsim), dan hal-hal yang diharamkan (al-maharim),
yakni memilih presiden dan wakil presiden yang akan menjalankan UU Kufur,
menyepakati berbagai syarat-syarat yang haram seperti kesepakatan untuk
mendukung produk UU yang bertentangan dengan Islam, memperkokoh rezim sekuler
yang seharusnya di deligitimasi sesegera mungkin, dan menyebabkan aktivis
partai Islam menimbulkan kecenderungan (sikap rela/setuju) pada partai sekuler
yang bathil. Dalil Larangan (QS Huud [11] : 113).
Koalisi parpol Islam dengan parpol
sekuler akan memperlama umur kebatilan, yaitu sistem demokasi-sekuler sekarang.
Selain itu koalisi akan mengantarkan pada jabatan-jabatan sekuler jika partai
tersebut menang dalam pemilihan. Koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler
merupakan suatu perjanjian (mu’ahadah) atau kesepakatan (mu’aaqadah; ittifaaq)
yang terlarang dalam Islam, karena tujuannya untuk saling memperkuat
(at-ta’adhud) atau menolong (at-tasaa’ud), bertentangan dengan ajaran Islam.
Perjanjian atau kesepakatan semacam ini haram hukumnya, sesuai sabda Nabi SAW :
لا حِلْفَ فِي الإِسْلام
“Tidak boleh ada perjanjian [yang batil] dalam Islam.” (HR Bukhari no 2130; Muslim no 4593; Abu Dawud no 2536;
Ahmad no 13475).
Tetap Dalam
Cengkerangan Asing
Siapapun yang menang nanti, kepentingan
masyarakat luas lagi-lagi akan selalu terpinggirkan. Hal ini terjadi karena
koalisi dalam sistem demokrasi merupakan koalisi transaksional,bagi-bagi jatah
keuntungan, sehingga kepentingan
pribadi, partai, dan kepentingan orang-orang dibalik layar (dalang) yang akan lebih
didahulukan. Dalang ini bisa dalang dalam negeri, seperti para konglomerat atau
partai politik, dan bisa juga dalang luar negeri, seperti perusahaan asing
(multinational corporation) atau pemerintahan yang berkuasa/adidaya.
Capres dan cawapres terpilih diramalkan
sulit lepas dari kendali tangan-tangan besar yang tak terlihat (invisible
hand). Para kandidat dimanfaatkan oleh para dalang di balik layar untuk kepentingan
mereka. Caranya dengan mengucurkan bantuan pendanaan, pencitraan, dsb. Cawapres
Hatta Rajasa dan cawapres Jusuf Kalla dikabarkan dikuasai mafia migas dan
konglomerat hitam. Di belakang cawapres Hatta Rajasa ditengarai ada rombongan
cukong di bawah pengusaha besar yang menunggu jatah proyek, salah satunya jembatan
Selat Sunda. Begitu pula cawapres Jusuf Kalla yang diduga kuat disokong
konglomerasi yang sangat pro pasar bebas, dan konsorsium mafia migas. Cawapres
pendamping Prabowo dan Jokowi ‘memuja’ pasar bebas dan nepotisme terhadap
kepentingan grup mereka.
Cengkeraman pemerintahan Asing terhadap
pemerintahan Indonesia pun sangat jelas terlihat. Pada masa pemerintahan
Presiden Soekarno, Indonesia berporos ke Blok Timur yaitu Cina dan Moskow. Presiden
Soeharto menjadi boneka Amerika, melakukan proses legalisasi berbagai
kepentingan Amerika. Maka muncullah sejumlah UU, termasuk terbitnya UU
Penanaman Modal Asing tahun 1967. Kemudian disusul terbitnya UU Pertambangan,
UU Kehutanan, UU Perdagangan, dll. Presiden BJ Habibie pun tak lepas dari
cengkeraman Amerika, tak berkutik ketika harus melepaskan Timor Timur dari
Indonesia. Berikutnya Presiden Abdurrahman Wahid pun diarahkan untuk memberikan
kebebasan seluas-luasnya bagi semua pihak di Indonesia. Termasuk mencabut Tap
MPR tentang larangan terhadap partai komunis. Sementara Presiden Megawati
Soekarnoputri, pada masa pemerintahannya berbagai kebijakan pro neoliberalisme
bermunculan. Ia pun begitu dekat dengan para konglomerat hitam. Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pun diberi potongan sampai dibebaskan. Berbagai
perundang-undangan pro asing juga muncul pada masa rezimnya. Pada rezim Susilo
Bambang Yudhoyono, bahkan berani menyebut Amerika adalah negara kedua baginya.
Pada masa ini, Amerika panen. Soalnya, kadernya itu tersebar luas baik di
birokrasi, parlemen maupun di tengah masyarakat. Liberalisasi besar-besaran
terjadi. Perusahaan-perusahaan asing di masa Soeharto seperti Freeport dan
Chevron serta Exxon mendapat angin lagi di masa rezim ini. Demikian juga
perusahaan multinasional lainnya di bidang pertambangan dan energi.
Hegemoni asing membuat calon presiden
negeri ini pun tidak berdaya. Ketidakberdayaan para pemimpin ini terjadi karena
dunia Islam telah diintervensi pemikirannya dengan pemikiran Barat. Mereka
harus mendapat restu dan dukungan Asing untuk bisa mendapatkan posisi presiden
dengan nyaman. Begitu PDIP yakin memenangi pemilu legislatif, Jokowi langsung
roadshow ke mana-mana. Ia bersama Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri,
bertemu dengan Dubes Amerika Serikat, Robert O Blake, Senin (14/4/14).
Pertemuan itu juga dihadiri beberapa perwakilan duta besar negara yang lain,
termasuk Inggris dan Vatikan. Dihadapan media, Jokowi sendiri mengakui
pertemuan tersebut untuk mendapatkan dukungan.
Setali tiga uang dengan Jokowi, Prabowo
juga sebenarnya jauh-jauh hari sudah kasak-kusuk ke Amerika. Memang tidak
secara langsung, tapi melalui adiknya, pengusaha Hashim Djojohadikusumo. Kepada
redaksi Trans TV, Hashim mengaku sempat mondar-mandir delapan kali ke Amerika.
"Saya sudah delapan kali ke Washington, sudah bertemu senator, kongres,
saya ketemu-macam-macam. banyak yang senang dengan Pak Prabowo di
Washington," kata Hashim seperti dikutip detik.com (12/2/14).
Pendidikan Politik
Islam dan Masa Depan Ummat
Selama masyarakat tidak mau disadarkan
dengan pekimiran Islam, para politisi parpol tetap menjerumuskan masyarakat
kepada demokrasi-sekular, dan pemerintah tidak melepaskan diri dari cengkeraman
asing dan menerapkan syariat Islam, maka Indonesia tidak akan menjadi lebih
baik. Masyarakat sudah terlalu sering mendapatkan janji kosong dalam pemilu.
Setiap partai politik pun telah mengusung perubahan namun perubahan itu tidak didapatkan oleh
masyarakat. Harapan masyarakat untuk perubahan Indonesia yang lebih baik akan
menjadi mimpi di siang bolong. Peneliti Centre for Strategic and International
Studies (CSIS) Sunny Tanuwidjaja, pada tahun 2012 mengatakan kepercayaan
masyarakat terhadap partai politik saat ini sangat rendah. Sunny menyatakan
hanya 22,4 persen responden menilai partai politik memiliki kinerja yang baik,
sisanya menilai sebaliknya. Banyak politisi memilih dan
mempromosikan orang untuk menjadi pemimpin karena orang itu
banyak uang dan orang itu banyak memberikan bantuan yang besar, bukan karena
dia memenuhi kriteria sebagai pemimpin.
Pengamat Politik dari Universitas
Indonesia Andrinof Chaniago mendesak agar adanya perbaikan tingkah laku para
politisi dan menjalankan fungsinya dengan benar. Rakyat melihat kebijakan
penguasa yang berasal dari partai-partai tidak berpihak pada rakyat bahkan sangat
menyengsarakan rakyat. Cara-cara kampanye partai politik (parpol) yang
bertarung dalam pemilu 2014 sungguh menyedihkan. Seruan-seruan kampanye jarang
ada yang berbobot, yang penting massa tertarik dan senang. Kampanye hitam dan
kampanye negative yang berdasarkan etika perpolitikan demokrasi pun tidak
dibenarkan tetapi pada kenyataannya kampanye seperti itu menjadi lazim dalam
sistem demokrasi yang mengedepankan kebebasan. Hal ini semakin mendorong ketidakpercayaan
publik pada politik dan menganggap perpolitikan adalah sesuatu yang kotor.
Politik yang dimaksud adalah politik
sebagai “struggle for power” perlombaan meraih kekuasaan. Politik dalam bingkai
demokrasi adalah jalan (thoriqoh) untuk meraih kekuasaan bagi yang kuat dan berpengaruh secara modal
dan kekuasaan. Kekuasaan sebagai konsepsi politik telah menyeruak dan mengisi
setiap benak umat manusia. Konsepsi politik seperti ini muncul sejak adanya ide
pemisahan agama dengan negara (sekulerisme), dan para penganutnya didominasi
oleh ide mengambil jalan tengah (kompromi). Barat (Eropa dan Amerika yang
menjadi kiblat politik dunia saat ini) telah menyebarkan konsep-konsep politik
berdasarkan sekulerisme dan kompromi. Konsepsi inilah yang dipelajari para
pelajar ilmu politik di seluruh dunia. Barat juga melakukan penjajahan politik
baik secara langsung maupun tidak langsung. Hasilnya, masyarakat hanya mengenal
sistem dan konsepsi politik ala barat. Ketika berbicara tentang aktivitas
politik, maka yang tergambar dalam benak masyarakat adalah menjadi anggota legislatif
dan penguasa sehingga lahirlah para politisi yang semata-mata mencari
kekuasaan, para politisi pragmatis.
Kekuasaan dan jabatan semestinya
diberikan kepada orang yang layak, bukan kepada mereka yang berjasa kepada
penguasa. Orang yang layak tentulah orang yang bertakwa, shalih serta punya
kemampuan. Rasulullah Saw bersabda:
« إِذَا ضُيِّعَتِ
الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ » قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ « إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ »
“Jika
amanah disia-siakan, tunggulah saat-saat kehancuran.” Ada yang bertanya,
“Bagaimana amanah itu disia-siakan?” Beliau bersabda, “Jika suatu urusan
diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat-saat
kehancuran.”(HR al-Bukhari dan Ahmad).
Perlu adanya perubahan mindset atau
paradigma berfikir pada umat Islam tentang politik. Perlu adanya edukasi, dan
pembinaan, untuk menyadarkan umat bahwa konsepsi politik yang diterapkan di
dunia saat ini adalah konsepsi yang berasal dari ideologi kapitalis-sekuler yang
membahayakan umat, dan menambah panjang deretan penderitaan umat. Umat perlu
dipahamkan bahwa ada konsepsi politik lain yang hakiki yang bisa membawa umat
pada kemajuan dan kemuliaan, yaitu konsepsi politik Islam. Politik dalam islam
adalah pengaturan urusan umat yang meliputi pemeliharaan seluruh urusan umat di
dalam negeri maupun luar negeri, baik pelakunya negara maupun umat. Dalam hal
ini negara bertindak secara langsung mengatur dan melihara umat melalui
penerapan hukum sedangkan umat bertindak sebagai pengawas dan pengoreksi
pelaksanaan pengaturan tadi oleh negara.
Umat harus mendapatkan pendidikan
politik islam, untuk mewujudkan politisi islam ideologis, ini merupakan metode
yang harus dijalankan. Pendidikan ini harus dilakukan dengan menanamkan pemikiran-pemikiran
dan hukum-hukum islam serta mengikuti peristiwa politik. Kemudian, pemikiran
dan hukum tersebut dikaitkan dengan berbagai peristiwa dan kejadian politik.
Pembinaan politik terhadap umat inilah yang akan menghasilkan sejumlah besar
politisi Islam Ideologis yang berperan serta dalam pemnyadaran umat sehingga
umat bisa menuju jalan yang telah Allah Ridhoi. Ketika Umat menyerahkan
kekuasaan kepada para politisi Islam Ideologis tentulah mereka akan membawa
perubahan hakiki yang menjadi harapan dan cita-cita umat dan membuat Indonesia
menjadi lebih baik. Karena politisi Islam Ideologis merupakan sosok politisi
yang memperhatikan urusan rakyat, dan mengaturnya sesuai dengan kehendak
Pemilik Alam Semesta, Allah Swt. Melakukan amar makruf nahi mungkar, sigap
mengawal penguasa dalam menerapkan hukum-hukum-Nya. Menimbang segala
permasalahan umat dengan sudut pandang Islam dan mengambil solusi atas segala
persoalan dengan solusi Islam.
Tugas ini akan sempurna jika dijalankan
di dalam sistem pemerintahan Islam. Itulah Sistem Khilafah yang dipimpin oleh
seorang khalifah. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
«فَالإِمَامُ الَّذِى عَلَى
النَّاسِ رَاعٍ وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat
dan dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya (HR al-Bukhari).
Hadis ini sekaligus mengisyaratkan bahwa
tugas politik, yaitu mengurus rakyat, menjadi tugas dan tanggung jawab
khalifah. Dialah yang berkewajiban menerapkan syariah Islam secara total. Semua
itu bisa terwujud jika kaum Muslim kembali kepada Islam dengan menerapkan
syariah Islam secara kaffah dalam naungan khilafah. Di sanalah izzah Islam akan
tampak.
0 komentar: