TOP NEWS

Mitra Dakwah

04 September 2012

Konsepsi Islam Tentang Negara


Keberadaan Negara, Sebuah Keniscyaan
Apa sih negara itu? Banyak definisi diberikan orang. Miriyam Budiharjo dalam buku Dasar-dasar Ilmu Politik mengutip sejumlah rumusan para sarjana Barat tentang negara.
1. Roger H. Soltau: "Negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas nama masyarakat" (The state is agency or authority managing and controlling these (common) affairs on behalf of and in the name of the community).
2. Harold J. Laski: "Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerjasama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama. Masyarakat merupakan negara kalau cara hidup yang harus ditaati baik oleh individu-individu maupun asosiasi-asosiasi ditentukan oleh suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat". (The state is society which is integrated by possessing a coercive authority legally supreme over any individual or group which is part of the society. A society is e a group of human beings living together and working together for the satisfactions of their mutual wants. Such a society is a state when the way of life to which both inviduals and associations must conform is difined by coercive authority binding upon them all).
3. Max Weber: "Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah" (The state is human society that (successfully) claims the monopoly of the legitimate use of physical force within a given territory).
4. Rober M. MacIver: "Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan system hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa" (The state is an association which, acting through law as promulgated by a government endowed to this end with coercive power, maintains within a community territorially demarcated the external conditions of order).
Dari rumusan-rumusan di atas, Miriam Budiarjo membuat definisi umum tentang negara adalah suatu daerah territorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundanganya melalui penguasaan (kontrol) monopolistis dari kekuasaan yang sah.
Selanjutnya Budiarjo menerangkan adanya sifat-sifat khusus sebagai manifestasi dari kedaulatan yang dimiliki negara, yaitu: (1) sifat memaksa, dalam arti mempunyai kekuasaan untuk memakai kekerasaan fisik secara legal dengan menggunakan tentara dan polisi agar peraturan perundangan ditaati dan mencegah timbulnya anarkisme. (2) Sifat monopoli, dalam menetapkan tujuan bersama dari masyarakat. Dalam rangka ini negara dapat menyatakan bahwa suatu aliran kepercayaan atau politik tertentu dilarang hidup dan disebarluaskan. (3) Sifat mencakup semua, artinya semua peraturan perundangan berlaku untuk semua orang tanpa kecuali.
Budiarjo juga menjelaskan bahwa negara itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
1. Wilayah, luasan tertentu tempat hidup warga negara dimana kekuasaan berlaku dengan batas wilayah tertentu yang besar kecilnya bersifat relatif.
2. Penduduk, orang-orang yang tinggal dalam wilayah negara dimana kekuasaan negara menjangkau mereka, jumlahnya bersifat relatif.
3. Pemerintah, organisasi negara yang berwenang untuk merumuskan dan melaksanakan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh penduduk di dalam wilayahnya.(4). Kedaulatan, kekuasaan yang tertinggi untuk membuat undang-undang dan melaksanakannya dengan semua cara (termasuk paksaan) yang tersedia.
Dan fungsi minimum suatu negara, papun ideologinya, menurut Budiarjo adalah:
1. Melaksanakan penertiban (law an order); untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat.
2. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
3. Pertahanan; untuk menjaga kemungkinan serangan luar. Untuk ini negara perlu dilengkapi dengan alat-alat pertanahan.
4. Menegakkan keadilan; hal ini dilaksanakan melalui badan pengadilan.
Dengan memahami definisi, sifat-sifat, unsur-unsur, dan fungsi-fungsi negara di atas dapat kita sadari betapa keberadaan suatu negara bagi masyarakat baik modern maupun primitif adalah suatu keniscayaan yang tak perlu dipertanyakan lagi. Maka tidak heran kita melihat bahwa sepanjang sejarah kemanusiaan ada negara dengan bentuk dan system pemerintahan yang bermacam-macam sesuai dengan dengan pemahaman ideologi yang dianut masyarakatnya. Ada negara kota Yunani, ada negara Kekaisaran Romawi, ada negara Kisra Persia, ada negara Firaun, ada negara kerajaan Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman, ada negara Raja Najasyi, ada negara Islam yang ditegakkan Nabi Muhammad saw. yang dilanjutkan oleh para sahabat beliau saw. yang menggantikannya yang disebut negara khilafah ala minhajin nubuwwah, ada negara monarki Inggris, Belanda, ada kekaisaran Jerman, Perancis, Austria, dan Rusia, Kekaisaran Cina dan Jepang, ada negara republik Perancis, Jerman, dan Amerika Serikat, dan lain-lain. Di negeri kita ini ada negara Kutai, Mataram Hindu, Sriwijaya, Singasari, Majapahit, Pajajaran, Demak, Pajang, Mataram Islam, Banten, Goa, Ternate, Tidore, Aceh, pernah menjadi propinsi koloni Belanda, Perancis (di masa Daendles), Inggris (di masa Raffles) , dan Jepang, serta menjadi republik Indonesia. Ya masyarakat manapun pasti memerlukan negara.
Oleh karena itu, bagi masyarakat muslim kapan dan dimanapun, kecuali segelintir orang yang telah kehilangan akar Islamnya melalui pendidikan Barat, negara Islam (khilafah) itu adalah suatu keharusan (lihat Ismail Ral Faruqi dan Louis Lamya Al Faruqi, Atlas Budaya Islam hal 191-192).
Persoalan yang lebih esensial bagi kita adalah pembahasan mengenai hakikat dari suatu negara itu sendiri sehingga kita bisa memahami bagaimana suatu negara itu ditegakkan oleh masyarakatnya dan bagaimana suatu negara itu bisa roboh atau dirobohkan. Syaikh Taqiyddin An Nabhani dalam kitab Muqaddimah Dustur (hal 5-11) menulis bahwa munculnya suatu negara baru itu lantaran munculnya pemikiran-pemikiran baru yang menjadi landasan berdirinya negara baru tersebut dan terjadinya pergantian kekuasaan di dalamnya lantaran pergantian pemikiran. Ini bisa terjadi karena pemikiran baru yang telah mewujud menjadi pemahaman (mafahim) --setelah difahami kebenaran makna yang dikandungnya--itu akan mempengaruhi tingkah laku manusia dan menjadikan tingkah lakunya itu berjalan sesuai dengan mafahim yang dianutnya itu. Mafahim baru itu pun menjadikan pandangannya tentang hidup pun berubah, dan pandangannya tentang kemaslahatan-kemaslahatan yang selalu dicarinya pun berubah. Sementara itu kekuasaan itu pada hakikatnya adalah pemiliharaan atas kemaslahatan-kemaslahatan dan kontrol atas jalannya pemiliharaan tersebut. Oleh karena itu , pandangan hidup merupakan asas tegaknya negara dan asas adanya kekuasaan. Karena pandangan hidup itu sendiri dibentuk oleh pemikiran tertentu tentang hidup maka pemikiran tertentu itulah pada hakikatnya yang menjadi asas daulah dan dia pulalah sebenarnya asas kekuasaan. Karena pemikiran tertentu itu mewakili kumpulan pemahaman (mafahim), tolok ukur (maqayis), dan keyakinan (qona'ah) yang diadopsi oleh masyarakat maka pemahaman, tolok ukur, dan keyakinan itulah yang dapat dianggap sebagai asas berdirinya negara dan kekuasaan hanyalah memelihara urusan masyarakat dan mengontrol agar pengaturan pemenuhan kemaslahatan manusia itu sesuai dengan kumpulan pemahaman, tolok ukur, dan keyakinan tersebut. Dari sinilah negara dapat didefinisikan sebagai badan eksekutif yang melaksanakan apa yang dikehendaki oleh kumpulan pemahaman, tolok ukur, dan keyakinan yang telah diterima oleh masyarakat.
Kumpulan pemahaman,tolok ukur, dan keyakinan itu ada yang dibangun dari pemikiran yang paling mendasar (fikr asasi) dan ada juga yang dibangun dari pemikiran yang bukan pemikiran paling mendasar. Jika kumpulan pemahaman, tolok ukur, dan keyakinan yang menjadi asas tegaknya negara itu dibangun dari pemikiran yang paling mendasar (fikr asasi), maka negara yang ditegakkan akan kokoh bangunannya, kuat pilarnya, dan stabil strukturnya. Sebab,negara tersebut disandarkan di atas pemikiran yang paling mendasar, yang tidak ada yang lebih dasar lagi, yaitu aqidah aqliyah. Dengan demikian negara yang kuat adalah yang ditegakkan di atas landasan aqidah aqliyah. Namun apabila suatu negara tidak ditegakkan di atas aqidah aqliyah, negara tersebut akan mudah dirobohkan dan dihancurkan lembaganya serta mudah didongkel kekuasaannya. Jadi negara yang kuat adalah negara yang dibangun di atas dasar aqidah aqliyah yang menghasilkan pemahaman, tolok ukur, dan keyakinan yang kuat pula. Sebagai contoh, adalah negara Islam yang dibangun di masa Rasulullah saw. (abad ke 7 Masehi) yang telah terbukti mampu eksis selama 13 abad. Negara itu baru runtuh pada tahun 1924 (abad 20 Masehi) setelah kaum muslimin mengalami kemunduruan pemikiran terhadap kumpulan pemahaman (mafahim), tolok ukur halal haram, dan keyakinan-keyakinan (qona'ah) Islam.
Pilihan bagi kaum muslimin yang tinggal di berbagai negara dengan basis nasionalisme (nation state) dengan berbagai system dan bentuk negaranya: tetap mengadopsi system negara bangsa (nation state) yang sangat lemah ataukah berusaha kembali bersatu dalam satu payung negara khilafah yang bersifat supranasional dan berbasis aqidah aqliyah Islamiyah? Tentu bagi yang mau berpikir jernih tidak ada pilihan kecuali memilih pilihan kedua. Dan secara syar'i, setiap muslim terikat untuk pernah berbaiat dalam pemilihan khalifah sebagaimana yang disebut dalam hadits Nabi Muhammad saw. (lihat Ismail R Al Faruqi dan Louis Lamya Al Faruqi, Atlas Budaya Islam, hal 192). Artinya, setiap muslim punya kewajiban moral dan agama untuk senantiasa hidup di dalam naungan negara khilafah. Diriwayatkan bahwa oleh Nafi' bahwa Umar bin Khaththab r.a. berkata bahwa dia mendengan Rasulullah saw. bersabda:
"Siapa saja yang melepas tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya ia akan berjumpa dengan Allah di hari kiyamat tanpa memiliki hujjah. Dan siapa saja yang mati sedangkan di pundaknya tidak ada baiat, maka matinya seperti mati jahiliyah".
Hadits tersebut tidak menunjukkan hukum bahwa setiap muslim harus melakukan prosesi memberikan baiat kepada khalifah (bai'at In'iqad), tapi dalam diri seorang muslim harus ada selalu ada bai'at (baiat tho'ah) kepada seorang khalifah (lihat An Nabhani, Al Khilafah, terj. Hal 3). Artinya, setiap saat dalam kehidupan seorang muslim, semestinya ia menjadi warga negara Khilafah Islamiyah.
Negara bagian Dari Syariat Islam
Kalau kita lihat buku fiqih yang sederhana semacam Fiqih Islam karya Sulaiman Rasyid (ditulis tahun 1938 dan diterbitkan pertama kali tahun 1954) kita akan menjumpai di bagian akhir buku adanya bab Al Khilafah setelah pembahasan bab Toharoh, bab Sholat, bab Jenazah, bab Zakat, bab Puasa, bab Haji dan Umrah, bab Muamalat, bab pembagian Harta Pusaka (Faraidl), bab Nikah, bab sanksi hukum pidana (Jinayat dan Hudud), bab Peperangan (jihad), bab Makanan dan Sembelihan, dan bab Pengadilan. Sekalipun di sana sini banyak kekuarangan dalam pembahasan tentang khilafah pada buku tersebut, namun maksud pencantuman bab al khilafah tersebut di bagian akhir buku tersebut, sebagaimana dikatakan sendiri oleh penulisnya adalah untuk sekadar menggambarkan bahwa seluruh hukum Islam yang ada pada bab-bab sebelumnya itu akan berjalan lancar dan baik dalam masyarakat andaikata negara itu berdasar kepada hukum-hukum Islam. Masalah khilafah sebagai suatu susunan pemerintahan yang diatur menurut ajaran islam, sebagaimana yang dibawa dan dijalankan Rasulullah saw. dan kemudian dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin (Khalifah Abu Bakar As Shiddiq r.a., Umar bin Khaththab r.a., Utsman bin Affan r.a., dan Ali bin Abi Thalib r.a.), kata Rasyid (hal 494), tak pernah lepas dari beberapa hukum, terutama mengenai penyusunan negara, kepala negara, pemilihan khalifah, hak memilih dan dipilih, dan sebagainya.
Kalau kita lihat kitab Fiqh yang lebih besar seperti Al Umm karya Imam As Syafii r.a. (hidup di masa Khalifah Harun Ar Rasyid dan AL Makmun dari khilafah dinasti Abbasiyyiah, wafat pada tahun 204H/820M, lihat Azyumardi Azra dkk, Ensiklopedi islam Jilid 4 hal 326), sekalipun tidak membahas secara khusus bab Khilafah/Imamah, namun uraian rinci tentang berbagai fiqh muamalat, jinayat, jihad, penaklukan dan perdamaian, jizyah, penanganan kafir dzimmi (disamping uraian berbagai bidang syariat Islam) tak bias melepaskan penyebutan Imam (khalifah) sebagai subyek pelaksanaan hukum syariat Islam (lihat Imam As Syafii, Al-Umm, Kitab Induk, terj. Jilid 6 hal 190, 266, 269, 317, 324, ). Imam As Suyuthi malah secara khusus menulis tentang tarikh para khalifah dari masa Khulafaur Rasyidin ( Abu Bakar Shiddiq r.a., Umar bin Al Khaththab r.a., Utsman bin Affan r.a., dan Ali bin Abi Thalid r.a.), para khalifah di masa dinasti Umayyah (Muawiyah bin Abi sufyan r.a. s/d Marwan bin Muhammad), dan para khalifah di masa dinasti Abbassiyyah ( Abul Abbas As Saffah s/d Al Mutawakkil Alallah) yaitu bentangan kekuasaan negara khilafah dari diangkatnya khalifah pertama segera setelah wafatnya Rasulullah saw. pada tahun 10H/634M sampai dengan 903H dalam kitabnya yang terkenal Tarikhul Khulafa. Mouaffaq Bany Al Marjeh dalam kitabnya Shofwatu Rajulil Maridl/The Awakening of the Sickman (hal 467-469) melengkapinya dengan daftar para khalifah dinasti Utsmaniyah (dari Sultan Salim I yang berkuasa sejak tahun 1512M s/d Sultan Abdul Majid Khan II yang diusir Musthafa Kamal pada tanggal 2 Maret 1924 ).
Dengan demikian jelaslah bahwa sepanjang sejarah peradaban umat Islam , mereka tidak lepas dari satu kesatuan umat dan negara yakni umat islam dan negara Islam atau Khilafah Islamiyah. Umat ini mendapatkan pukulan dan goncangan besar dengan dikalahkan negaranya pada Perang Dunia I oleh pasukan Sekutu yang dipimpin oleh Inggris. Umat yang kini terpecah belah menjadi lebih dari 50 negara itu masih memiliki dokumen sejarah dan dokumen hukum (berupa Al Quran, As Sunnah, dan Kitab-kitab Fiqih) yang masih utuh yang menjadi bekal untuk menyusun doktrin peradabannya kembali. Oleh karena itu, di era kebangkitan umat ini wajarlah kalau umat Islam memiliki potensi untuk mengembalikan syariatnya dan negaranya.
Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya Nizhomul Hukmi fil Islam (disempurnakan oleh Abdul Qodim Zallum) menguraikan secara jelas tentang hukum-hukum syariat islam dalam politik ketatanegaraan. Menurut An Nabhani (terj.hal 9) negara islam adalah seorang khalifah yang menerapkan hukum syara’. Negara islam merupakan kekuatan politik praktis yang berfungsi untuk menerapkan dan memberlakukan hukum-hukum Islam, serta mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia sebagai sebuah risalah dengan dakwah dan jihad. Negara Islam inilah satu-satnya metode yang dijadikan Islam untuk menerapkan system dan hukum-hukumnya secara menyeluruh dalam kehidupan masyarakat. Tanpa adanya negara, eksistensi islam sebagai sebuah mabda (ideologi) serta system kehidupan akan pudar; yang ada hanyalah Islam sebagai upacara ritual serta sifat-sifat akhlak semata.
Negara Islam hanya berdiri di atas asas aqidah islam. Menurut syari’at islam, dalam kondisi apapun aqidah Islam tidak boleh terlepas dari negara. Rasulullah saw. Waktu membangun negara Islam pertama kali adalah dengan menjadikan asas Lailahaillah Muhammad Rasulullah saw. sebagai asas negara dan pemerintahannya, sebagai asas kehidupan bagi kaum muslimin, dan sebagai ass dalam berhubungan dengan sesama manusia, asas untuk mencegah tindak kezaliman, serta asas menyelesaikan persengketaan yang terjadi di antara manusia. Menjaga keberlangsungan aqidah islam sebagai dasar negara merupakan fardlu atas kaum muslimin. Rasulullah saw. memerintahkan kepada kaum muslimin mengangkat senjata apabila tampak kekufuran yang nyata. Ketika Rasulullah saw. ditanya tentang mengangkat senjata terhadap pemerintahan yang zalim, beliau saw. menjawab:
«لاَ ،مَا أَقَامُوْا فِيْكُمْ الصَّلاَةَ»
“Jangan, selama mereka menegakkan sholat (hukum Islam)”.
Dalam pembaiatan khalifah, kaum muslimin juga tidak diperbolehkan merebut dari tangan ulil Amri (khalifah) kecuali kalau mereka menyaksikan kekufuran yang nyata. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ubadah bin As Shamit tentang baiat:
«وَ أَنْ لاَ نُنَازِعُ اْلأَمْرَ أَهْلَهُ، قَالَ: اِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ»
“Dan agar kami tidak merampas urusan (kekuasaan) dari yang berhak, Rasulullah saw. bersabda: Kecuali bila kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, sedangkan kalian memiliki bukti yang kuat di sisi Allah”.
Dengan Demikian tidak diperkenankan kaum muslimin memiliki negara dengan asas selain Islam, baik itu sekularisme, kapitalisme, demokrasi, sosialisem, komunisme, nasionalisme, atau paham apapun yang bukan merupakan aqidah aqliyah islamiyah.
Khalifah yang dibaiat kaum muslimin sebagai kepala negara, wajib menerapkan hukum syariat islam. Sebab syariatlah yang memiliki kedaulatan (As Siyadah Lis Syar’I). Syariat Islam yang merupakan pancaran aqidah Islam telah menetapkan bahwa penguasa wajib menerapkan hukum Allah SWT sebagai bukti ketaatan kepada Allah SWT yang telah memerintahkan hal itu dalam firman_Nya:
﴿فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ[
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan". (QS. An-Nisaa' [4]: 65)
Juga firman-Nya:
﴿وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَاأَنْزَلَ اللهُ إِلَيْكَ[
"Dan hendaklah kamu hukumi di antara mereka dengan Apa yang turunkan kepadamu. Dan janganlah kalian mengikuti kemauan mereka. Hati-hatilah terhadap mereka, agar mereka memalingkan kamu dari sebagian yang telah diturunkan Allah kepadamu." (QS. Al-Maa-idah [5]: 49)
Dan rakyat yang mayoritas kaum muslimin yang memiliki mafahim Islam, maqayis Islam, dan qana’ah Islam dituntut untuk ridlo dengan undang-undang penerapan hukum Allah SWT. Sikap ridlo terhadap seluruh konsitusi dan perundangan syariah ini diajarkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
]وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا[
"Dan apa saja yang dibawa oleh Rasul lakukanlah, se­dangkan yang dilarangnya maka tinggalkanlah." (QS. Al-hasyr [59]: 7)
Juga firman_nya:
]كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِم ْوَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِينًا[
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min,apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab [33]: 36)
Dengan keimanan kepada aqidah dan syariah islam, masyarakat muslim akan membaiat seorang khalifah untuk mengatur urusan mereka dengan menjalankan pemerintahan berdasarkan Al Quran dan As Sunnah dan mereka dan khalifah diberi wewenang untuk mengundangkan hukum syariah yang dibangun berdasarkan kedua sumber utama hukum syariah itu. Khalifah tidak berhak mengadopsi hukum lain selain dari syariah yang diwariskan oleh rasulullah saw. Adopsi khalifah ini juga sekaligus mengatasi perbedaan dia antara para hakim dan penguasa di bawahnya dalam mengambil kesimpulan hukum dalam rangka menyelesaikan perkara di antara warga negara baik muslim maupun non muslim.
Negara Islam Bukan Theokrasi dan Bukan Otoriter
Ada kesalah pahaman sementara orang bahwa kalau kita menegakkan negara Islam itu berarti negara theokrasi, padahal theokrasilah yang menyebabkan kezaliman di Eropa pada abad pertengahan, bukankah kolusi antara para uskup dan kardinal dengan para kaisar yang telah menimbulkan berbagai penderitaan dan kesengsaraan bangsa Eropa? Menggeneralisir Islam dengan agama Nasrani adalah sebuah kesalahan. Nasrani adalah agama yang mengatur masalah ritual dan moral semata, masalah keakhiratan. Islam mengatur masalah dunia akhirat, masalah ibadat dan akhlak, juga masalah muamalah, social, hukum peradilan, ekonomi dan ketatanegaraan.
Negara theokrasi adalah sebuah konsep yang mengaku bahwa kedaulatan berasal dari Tuhan, tapi hukum dibuat-buat oleh para agamawan dimana para kaisar dan raja berlindung pada kekuasaan mereka. Islam menjelaskan hukum untuk seluruh umat manusia, dan hukum berlaku bagi seluruh umat manusia. Adapun kekuasaan menjalankan hukum adalah hak seluruh umat yang diserahkan kepada khalifah yang akan menerapkan hukum kepada seluruh umat. Dalam hal ini, khalifah bisa dan wajib dikoreksi oleh umat dengan tolok ukur (maqayis) yang jelas, yakni halal haram. Oleh karena itu, khalifah tidak punya hak prerogratif untuk melanggar hukum Allah dan tidak punya secuail pun hak untuk membuat hukum sendiri atas nama Allah SWT. Khalifah hanyalah penguasa pelaksana hukum yang bisa pula mengalami kesalahan yang oleh karena itu bisa dikoreksi bahkan bisa dipecat dari jabatannya. Wajarlah suatu ketika Khalifah Umar menetapkan kebijakan agar para wanita memperingan mahar yang mereka minta, bahkan yang sudah mendapatkan mahar banyak dia minta kembalikan. Kebijakan ini diprotes seorang wanita tua yang beragumen dengan firman Allah SWT:
]وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَءَاتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلاَ تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا[
“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?” (QS. An-Nisaa’ [4]: 20)
Nabi Muhammad saw. sebagai pun sebagai kepala negara yang melaksanakan hukum Allah SWT, pernah ditegur dengan halus oleh Allah SWT tatkala mengambil kebijakan yang tidak lebih baik (khilaful aula), sebagaimana firman Allah:
]مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فِي الْأَرْضِ تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللهُ يُرِيدُ الْآخِرَةَ وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ[
“Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Anfaal [8]: 67).
Ada pertanyaan, bukankah dengan system khilafah yang kekuasaan berkumpul di tangan seseorang memberikan peluang besar terjadinya kediktatoran? Jawabannya tentu kembali kepada sejauhmana penerimaan dan penguasaan umat islam terhadap mafahim, maqyis, dan qonaah islam. Jika umat islam dalam kondisi memiliki pemikiran dan kesadaran yang tinggi terhadap hukum syariah, maka umat akan dengan meudah mengontrol khalifah dengan pengetahuan, pemahaman, standa, dan keyakinan yang mereka miliki. Sebaliknya, jika terjadi kemunduran yang sangat, kediktatoran yang bukan merupakan jiwa pemerintahan Islam pasti akan terjadi. Nabi Muhammad saw. selalu berpesan kepada pejabat yang dikirmnya ke daerah dengan:
«بَشِّرُوْا وَلاَ تُنَفِّرُوْا وَيَسِّرُواْ وَلاَتُعَسِّرُوْا»
“Berilah mereka kabar gembira, dan janganlah kalian hardik, dan mudahkanlah mereka janganlah kalian persulit”.
Bahkan dalam kemunduran yang sangat, umat islam telah rela melepaskan penguasa, bukan hanya berubah dari pemelihara menjadi otoriter, dari pemerintahan Islam kepada pemerintahan sekuler seperti yang terjadi pada tahun 1924 di pusat Khilafah Utsmaniyah, Istambul.
Oleh karena itu, sudah saatnya, seluruh pejuang penegak syariah menyingsingkn lengan bajunya untuk memberitahukan kepada seluruh kaum muslimin tentang konsepsi negara islam (khilafah ala minhajin nubuwwah) yang merupakan negara asli milik kaum muslimin yang kini telah hilang dan mesti ditemukan lagi. Wallahu muwaffiq ila aqwamit thariq!

0 komentar: